EFEK TULISAN BERPUTAR

Kamis, 27 Oktober 2016

TORMENT: THE LAST STANDING - CHAPTER 1: THREE FACED OF EDMUND COLLINS



Bangun, Ed!! Oh, atau haruskah aku yang keluar? Kalau begitu dengan senang hati!! Edmund tersentak. Nafasnya terengah-engah dengan keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Di hadapannya seorang wanita awal 30-an yang memandangnya tenang. Edmund memperbaiki posisi duduknya dengan canggung. Ia mengamati sekelilingnya. Oh, ya, benar. The Master pasti ke sini dengan Charles sebelum mereka berangkat ke Torment.
“Ehm, dan… dengan siapa aku berbicara?” tanya wanita ramah itu dengan suara merdunya.
“Aku selalu suka mendengar suaramu, Mrs. Lennox.” Edmund menyeringai.
“Itu ‘Ms.’ dan ‘Leigh’. Aku sudah berpisah dari mantan suamiku itu, Cheer, kalau aku tidak salah menebak.” wanita itu masih tetap ramah walau ia sedikit jengkel ketika harus mendengar lagi nama mantan suaminya.
“Ah, maaf, kesalahanku. The Master tidak pernah bilang apa-apa tentang itu. Aku turut menyesal mendengarnya. Kau tahu sendiri kan kalau Land Lord yang satu itu begitu misterius? Ehm, aku agak kesulitan memanggilmu dengan ‘Ms.’, dan bagaimana dengan ‘Madame’? oh, ah, dan yang benar saja kau masih harus memastikan kalau ini adalah aku? Kita sudah saling mengenal selama delapan tahun.” Edmund berbicara cepat dalam dua kali tarikan nafas.
“Ya, dan aku hanya memastikan kalau Edmund sudah beristirahat.”
“Kau ingin memastikan apakah aku hilang ingatan atau tidak? Baiklah. Namaku Edmund, dan begitu juga dengan dua yang lainnya. Kami semua Edmund. Hanya sejak bertemu denganmu kami dikotak-kotakkan. The Master menjadi Cold Face, The Oldest menjadi Calm, dan aku menjadi Cheer. Kau memanggil kami sesuai karakter? Oh, ayolah, itu menjadi rasis!”
“Kemudian kau pasti tahu kalau kau menyukaiku, Cheer?”
Edmund lalu tersenyum. Ya, bagaimanapun ia adalah Cheer juga. Sulit sekali merasakan marah dan hal mengerikan lainnya. Itu sudah ditangani oleh bagian lain yang juga sering disebut The Master. Ia menyukai semua orang, kecuali orang jahat.
“Apakah kalian sudah selesai?”
Charles Collins, dengan gaya modisnya berdiri di depan pintu dengan wajah khawatir. Sesekali melihat arloji dengan gelisah.
“Kami sudah selesai Mr. Collins. Oh, Cheer, kumohon jangan membuat masalah di sana. Kau tahu kan kalau Cold akan sangat murka jika kau mengacau.” Madame Leigh tersenyum ramah.
“Tentu saja. The Master bisa muncul dan mengambil alih kapanpun dia mau, tapi aku harus minta ijin terlebih dahulu, dan The Old One tidak tertarik sama sekali untuk keluar.” Edmund tertawa pelan sambil memakai mantel hitam modis yang tersampir di kursinya tadi.
Charles dan Edmund pamit. Mereka berjalan cepat menuju mobil mewah di luar. Ketika Joseph, supir Charles membukakan pintu mobil, keduanya masuk dan duduk tenang. Charles diam, lalu menoleh kepada Edmund sambil memandang meneliti.
“Kau memakai bros keluarga Collins?” Charles menyipitkan mata.
Edmund sedikit bingung, lalu meraba bagian dadanya. Ia lalu melepas o-neck sweater hitam dan memperlihatkan bros emas indah berbentuk huruf C dengan sayap di kedua sisinya.
“Terpasang rapi di dada kiriku, Dad.” Edmund tersenyum.
Charles tersenyum dan mengangguk. Ia kembali fokus pada Holo untuk memeriksa segala pekerjaannya. Charles masih merasa canggung dengan senyuman Edmund. Ia selalu bersama Edmund yang angkuh serta tanpa senyuman, dan Edmund yang riang ini membuatnya sangat nyaman dan senang walau agak terasa janggal.
Edmund memakai kembali sweater dan merapikan  rambut. Ia tahu betul kalau Master-nya sangat tidak ingin memperlihatkan lambang keluarga Collins itu. Akan menjadi masalah jika ia bermain-main dengan lambang itu. Terkadang ada suatu batasan yang tidak boleh dilewati walau sedekat apapun orang tersebut, dan segila apapun ia masih sedikit waras untuk tidak mencari masalah dengan Master-nya.
Edmund sekarang merasa sangat bahagia. Ia sudah lulus dari ‘sekolah’ dan akan memasuki ‘akademi’. Terlebih lagi itu adalah Torment Academy, sekolah tinggi terbaik di dunia ini yang hanya menerima anak-anak berbakat. Ia tidak heran bisa memasuki Torment mengingat betapa jenius dan hebat Master-nya. Ia juga hebat. Semua Edmund begitu hebat. Hanya saja ia sangat sulit mengatur berbagai emosi terutama kegilaannya ini. Edmund melirik Charles yang masih bersikap elegan walau ia tahu banyak pekerjaan yang membuat pusing pria tampan modis itu.
Mereka sampai beberapa menit kemudian. Sebuah stasiun dengan sebelas gerbang besar yang mengarah ke berbagai tempat di seluruh belahan dunia. Tatapan Edmund terpaku pada satu gerbang paling mewah dan klasik. Tentu saja Torment memiliki gerbang miliknya sendiri. Sebagai sekolah terbaik di dunia, fasilitas seperti ini bukanlah apa-apa. Joseph mengeluarkan koper Edmund dari bagasi dan Charles turun dengan gelisah walau ia menyembunyikan di sikap elegan.
“Jangan lupa untuk terus menjaga penampilanmu, Ed. Aku masih belum ingin mati di tangan Sir Corleone Collins. Kau akan memahami ini jika kau dinyatakan layak oleh kakekmu itu, Ed.” Charles merapikan rambut hitam mengilapnya.
Tentu saja Edmund mengetahui itu. Seorang Collins harus selalu tampil menawan apapun yang terjadi, bahkan saat sekarat. Sekarang mereka berdua berdiri di antara keramaian, dua pria menawan yang modis dan mencolok. Orang-orang menyempatkan diri menoleh, bukan ke arah Edmund tapi Charles. Ayahnya ini sangat terkenal karena ia adalah kepala keluarga Collins yang baru, walau yang lama belum mati. Oh, sial! Aku ingin Pak Tua itu cepat mati saja!! Edmund membelalakan matanya. Master-nya menjadi kesal. Aku ambil alih!!
Edmund hampir terjatuh karena switching ini. Charles bahkan menoleh dengan bingung. Tapi ia langsung paham ketika melihat tatapan mata Edmund yang tajam dan wajah tanpa ekspresinya itu. Tentu saja Edmund yang biasanya sudah kembali. Sikap tubuh tegap dan tegasnya kini mulai serasi dengan penampilan yang mengagumkan. Setidaknya biarkan aku sampai datang di Torment…!! Edmund mendengus kesal.
Charles kembali menoleh ketika Edmund kembali hampir tumbang. Ia langsung paham lagi ketika melihat sikap tubuh penuh semangat dan senyuman bodoh di wajah Edmund. Charles langsung merapikan penampilan Edmund lagi ketika semakin banyak orang yang melewati gerbang Torment walau jumlahnya hanya 1/23 dari total orang yang melewati sepuluh gerbang lainnya.
“Ketika kau sampai di sana, temui Liza. Aku sudah memberitahu dia bahwa kau akan sampai hari ini.” kata Charles dengan cepat.
Liza? Edmund tiba-tiba merasa seluruh persendiannya kaku. Ia menahan nafas, lalu kembali hampir terjatuh dan langsung di tangkap oleh Charles.
“Kau baik-baik saja, Ed?” Charles tampak khawatir.
“Bukan masalah, Dad. Hanya saja aku merasa jijik mendengar nama itu.” suara Edmund sedingin es, begitu pula tatapannya.
“Oh… tapi, setidaknya temui dia.” ucap Charles pelan.
“Aku sangat tidak ingin melakukannya. Tapi tetap ada kemungkinan aku bertemu dengannya di jalan. Aku akan menyampaikan salam darimu. Aku pergi, Dad.” Edmund mengambil kopernya dan pamit seadanya dengan Charles.
Edmund berjalan dan ketika pintu gerbang dibuka, ia melewatinya. Dapat terlihat pemandangan yang jauh berbeda dari sisi ia datang. Di sini yang tampak adalah pemandangan serba hijau, dengan rerumputan hijau, pepohonan besar yang hijau, gunung-gunung di kejauhan, udara yang segar dan sejuk, begitu tenang dan indah. Bis-bis bagus dan besar mulai dinaiki oleh para siswa ini. Edmund menoleh ke belakang, masih banyak anak-anak yang seumuran dengannya melewati gerbang. Ia lalu mulai berjalan ke arah sebuah bis. Ketika ia hampir masuk ke dalam bis, seseorang juga mencoba masuk. Edmund melihat seorang gadis berambut pirang yang tersenyum ramah padanya.
“Oh, kau anak baru rupanya.” senyuman yang begitu menawan dan suara yang lembut membuat wajah cantiknya semakin menarik.
“Bis untuk siswa baru!!” teriak seorang petugas.
Edmund tidak mengubah ekspresinya dan berjalan pergi menuju bis untuk siswa baru. Ia memilih duduk di bagian tengah, seorang diri dan mendengar lagu dari headphone sementara sekelilingnya riuh oleh perkenalan dan candaan siswa baru lain.
“Hm, bo–bolehkah aku duduk di sini?”
Edmund melirik dengan ekor matanya. Seorang gadis berambut coklat yang gugup. Edmund tidak menjawab, hanya kembali menoleh ke luar jendela. Tidak mendapat jawaban pasti, gadis itu masih berdiri dengan canggung.
“Kau bisa duduk bersamaku. Tadi temanku naik di bis lain.”
Gadis berambut coklat itu pergi. Edmund kembali melirik. Seorang pria bertubuh besar dan tegap dengan otot-otot yang cukup mengerikan. Ia tersenyum dan bersikap ramah pada gadis berambut coklat itu. Edmund kembali merasa tidak perduli dan sibuk dengan pikirannya. Ia menyindir betapa pengecutnya karakter periang yang cerewet tadi. Langsung ketakutan setengah mati ketika mendengar nama perempuan bengis yang disebut oleh Charles. Dirinya saja merasa jijik, tapi Si Periang langsung menjadi pendiam. Begitu tenang di pikiran Edmund saat ini. Tidak ada ocehan dan nyanyian mengganggu karena Si Periang yang dibencinya itu sekarang sedang duduk memeluk lutut di sudut dengan kepala tertunduk.
Mereka sampai di Torment dan keluar dari bis. Para siswa baru berbaris untuk melakukan pendataan dan pembagian kamar. Edmund dapat melihat bangunan sangat besar, megah, dan modern jauh di depannya. Edmund berada di baris paling belakang karena tidak ingin didesak untuk cepat maju oleh orang lain di belakangnya. Edmund hanya mendengarkan musik dan bersikap tenang. Hingga satu jam kemudian tiba gilirannya. Ruangan yang sangat luas. Aula megah ini membuat Edmund memperhatikan secara menyeluruh, mencoba menghafalnya agar tidak tersesat. Seorang wanita paruh baya yang tampak sangat tidak ramah berdiri di hadapannya.
“Nama?” tanya wanita itu malas.
“Edmund August Collins.”
Wanita paruh baya itu menoleh ke arah Edmund dan memberikan tatapan ‘jangan berlagak bisa berbohong di sini, katakan saja yang sebenarnya, tolol!’. Wanita itu lalu menengadahkan tangannya, dan Edmund tahu apa yang diminta. Edmund mengangkat sweater hingga tampak bros keluarga Collins. Wanita itu meneliti bros yang Edmund pakai. Ia lalu mengangguk. Seorang pria berpakaian rapi mengantarkan Edmund ke asrama.
“Kamar Valet nomor 514.” pria itu lalu pergi dengan sopan.
Edmund memasuki kamar barunya. Sangat bagus. Ia dapat melihat beberapa barang-barang pribadinya yang ada di kamar lama sudah ada di sini. Pasti Charles yang mengaturnya. Edmund membuka lemari pakaian. Ada stelan pakaian ketat dengan lambang Torment dan sepatu olahraga baru. Sekali lihat Edmund sudah tahu kalau pakaian dan sepatu ini dibuat khusus. Edmund berjalan ke arah tempat tidur. Ada monitor aneh di dekat tempat tidur, Edmund memencet salah satu tombol.
“Edmund August Collins, level 1. Ability belum diketahui.”
Ya. Belum ada yang mengetahui kemampuannya di akademi ini. Edmund duduk di tepi ranjang, memejamkan matanya. Waktunya Pertemuan. Awalnya gelap, lalu samar Edmund dapat melihat. Ruangan kosong yang sepi. Ia dapat melihat wujud yang sama persis dengan dirinya masih duduk sambil memeluk lutut di pojok ruangan.
Sampai kapan kau akan begitu terus?
Sampai pikiranku bisa menghilangkan nama itu. Ah, begitu mengerikan! Si Periang yang cerewet, atau Cheer, tampak murung.
Mana yang satunya lagi? Bukankah aku sudah bilang untuk Pertemuan? Edmund menjadi kesal.
Edmund Periang mengarahkan telunjuknya ke arah kiri, di sana!
Ya. Hadir. Sosok Edmund lain yang berwajah tenang dan ramah mengangkat tangan.
Cheer, Calm, merapat! Edmund melipat lengan di depan dada.
Mereka bertiga duduk melingkar di kursi. Kita sudah di Torment, dan aku ingin kau tidak mengacau! Edmund mengarahkan telunjuknya dengan tegas pada Edmund Periang.
Kenapa hanya aku? The Oldest juga berpotensi mengacau!! Edmund Periang tampak protes.
Teruskan! Bagaimana rencanamu, Ed? Edmund Ramah tersenyum tipis.
Kalian harus meminimalisir tingkah kalian yang membuatku sakit kepala! Aku ingin fokus belajar di sini. Jangan membuat masalah, itu yang terpenting. Edmund masih memasang ekspresi angkuhnya.
Ah, baiklah. Setidaknya aku masih bisa keluar ketika kau kewalahan atau kelelahan. Edmund Periang tersenyum lebar.
Kau benar. Edmund Ramah tertawa pelan. Mereka bertiga sepakat untuk istirahat.
*                                  *                                  *

THE GREAT WIZARD DAMIAN - CHAPTER 1 : DAMIAN IS A WIZARD




Musik berirama cepat mengalun dengan cukup keras dan menggema ke seluruh bagian rumah berlantai dua itu. Seorang anak lelaki berusia enam belas tahun memakai headphone di kedua telinganya, memainkan piringan hitam yang ada dihadapannya, sesekali menekan atau memutar tombol-tombol kecil disamping piringan itu. Ia melihat kearah laptop didepannya yang menampilkan gelombang-gelombang suara yang bergerak naik dan turun. Dilantai bawah duduk seorang gadis berusia tujuh belas tahun dengan santai di sofa, menampilkan pose dari tubuh seksinya. Tak jauh dari gadis itu, seorang gadis lain berusia lima belas tahun duduk di lantai dan menulis not-not balok dibuku catatannya. Mereka berdua tidak terganggu sama sekali dengan keributan yang dibuat anak lelaki dilantai atas.
Sorang pria berusia tiga puluh delapan tahun tapi memiliki penampilan dan wajah seperti berusia dua puluh tahun, mendekati kedua gadis itu sambil memegang segelas air ditangan kanannya. Ia terasa tidak cocok untuk menjadi ayah bagi ketiga anak-anak itu, lebih pantas sebagai saudara tertua.
“Wow, ada apa dengan maestro itu? Mencoba komposisi baru? Aku harus pergi ke rumah sakit jika ia terus menambah volume musik itu.”
Ucapan ayah mereka membuat kedua gadis itu tertawa kecil. Anak ke-tiga menunjukkan catatannya kepada sang ayah.
“Dad, aku sudah menyelesaikan komposisi musik baru. Bagaimana menurutmu? Apa bisa ditampilkan dalam konser minggu depan?”
“Hm, sedikit perbaikan di akhir. Kau harus membuat kejutan di akhir agar mereka merasa takjub, Sophia.”
“Terima kasih, Dad.”
Anak pertama tersenyum manis, melirik ayah dan anak itu dari balik majalah yang dipegangnya.
“Aku akan menghentikan DJ itu sebelum para tetangga datang dan memarahiku. Vanessa, pakai baju yang lebih tertutup!”
“Dad, aku sedang bersantai. Tidak masalah memakai baju ini.”
“Jam berapa kau selesai semalam?”
“Well, pengambilan gambar terakhir selesai pukul dua pagi.”
“Baiklah, berarti kau libur.”
Dimitri Sigismund, menaiki tangga menuju kamar dilantai atas. Ia membuka pintu kamar itu dan anak lelaki yang ada di sana menoleh ke arahnya. Hanya dari tatapan sang ayah, ia segera mengerti dan mematikan peralatan audionya.
“Cepat bersiap!”
Dimitri menunjuk piyama yang masih dikenakan anak lelakinya, dan beranjak keluar. Anak bernama Damian Sigismund itu mengambil handuk dan memasuki kamar mandi. Hanya sebentar dia didalam lalu keluar kembali dengan handuk melilit tubuh dan rambut basah. Ia segera memilih kaus berlengan panjang warna hitam dan jaket berwarna putih. Rambut hitamnya dibuat semenarik mungkin. Ia bersyukur mewarisi penampilan keren dari ayahnya. Ia baru pindah dari Los Angeles dan meninggalkan tempat terindah baginya, Beverly Hills. Ayahnya adalah seorang musisi ternama, semua jenis musik dikuasainya terutama musik klasik. Kakaknya, Vanessa Sigismund, adalah seorang aktris berbakat dan tubuh seksi serta wajah cantiknya merupakan nilai tambah. Adiknya, Sophia Sigismund, merupakan musisi musik klasik muda berbakat, sifat polos dan ramahnya merupakan daya tarik tersendiri disamping wajah cantik warisan dari gen orang tua mereka. Damian sendiri bukanlah anak yang terkenal seperti anggota keluarganya itu. Ia tidak tertarik sama sekali dengan musik klasik ataupun akting. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian saat berjalan kemanapun, dibuntuti papparazzi, seperti ayah dan saudara-saudaranya. Ia hanya ingin menjadi Disc Jockey, membuat musik-musik bertempo cepat, dan membuat orang-orang melupakan masalah mereka.
“Damian, ayo!”
Vanessa tiba-tiba masuk saat Damian memakai syal hitamnya. Ia tidak marah sedikitpun pada kakaknya itu karena tidak mengetuk pintu. Vanessa, walau berpenampilan seperti bad girl, ia adalah sosok yang anggun, ramah, dewasa, baik, dan mengagumkan. Ayahnya bilang Vanessa sangat mirip ibu mereka yang telah meninggal sejak Sophia berumur dua bulan, baik wajah maupun sifat. Dimitri Sigismund tidak pernah memasang foto istrinya di rumah mereka maupun menunjukkan pada anak-anaknya. Yang Damian yakin adalah ibunya pastilah wanita Asia karena mata sipit mereka bukanlah dari Dimitri, ayahnya.
“Nessie, kau akan ikut juga?”
“Ya, tentu.”
Damian hanya menghela nafas dengan berat. Ia lalu menuju lantai bawah untuk makan bersama keluarganya. Ia sudah bisa menebak apa yang akan menimpanya nanti. Hari ini ia akan membeli perlengkapan sekolah baru. Semalam ia mendapat surat dari kakeknya, William Sigismund, bersamaan dengan surat dari sekolah barunya. Ia didaftarkan ke sebuah sekolah berasrama yaitu GIUSEPPE, diambil dari nama pendirinya Giuseppe Aston. Nama yang aneh. Damian tidak pernah mendengar ada sekolah bernama Giuseppe di Inggris. Ia pikir akan dimasukkan ke The Latymer School seperti janji ayahnya agar ia mau pindah ke London.
Ia berjalan di pusat perbelanjaan bersama tiga orang yang sangat menarik perhatian. Ia dengan cepat memilih perlengkapan sekolah dan baju-baju baru untuk di asrama. Ia juga membeli sepatu dan perlengkapan lainnya. Semua itu dilakukannya agar segera keluar dari kerumunan orang disini.
Rabble memang menyusahkan!”
Suara yang tenang dan berat membuat Damian terkejut. Ia menoleh ke sebelah kiri. William Sigismund, kakek berusia enam puluh tiga tahun itu masih tampak gagah dengan rambut hitam dan badan tegapnya. Ia tampak seperti berusia empat puluh tahun walau kulitnya pucat. Wajahnya tegas dan galak. Kakeknya ini selalu menyebut orang-orang disekelilingnya sebagai rabble atau rakyat jelata. Damian tidak pernah tahu apakah kakeknya ini bangsawan atau bukan.
“Seragammu sudah datang. Ada dilemari pakaian. Hm, sebaiknya perbanyak kaus saja. Aku yakin kau akan membutuhkan baju-baju itu disana.”
“Grandpa, kurasa itu tidak perlu. Itu hanya sekolah asrama, tidak terlalu banyak kegiatan. Lagipula hanya akan memperberat bagasiku.”
“Kau tidak tahu kegiatan apa saja disana, Damian. Itu bukan sekedar ‘sekolah berasrama’, Nak.”
Ucapan kakeknya sedikit menyeramkan, dan semuanya terasa berputar saat kakek memegang lengannya dan memejamkan mata. Damian terjatuh pada lutut. Seluruh isi perutnya mendesak keluar dan seketika ia memuntahkan seluruh sarapannya pagi ini.
“Ugh, menjijikkan, Nak! Kau harus belajar agar lebih terbiasa saat transfer. Itu adalah ciri khas kita.”
Damian sangat bingung dengan apa yang barusan terjadi, ia masih pusing, jadi tidak begitu mendengar ucapan kakeknya. Ia dapat melihat kakeknya itu melihat sekeliling. Tempat aneh, sepi, seperti bukan di London.
“Grandpa, kita ada dimana? Ini bukan London.” tanya Damian parau sambil mengelap mulutnya.
“Dunia Kedua.”
“Hah? Apa?”
“Dunia Kedua, Nak!! Ini adalah dunia sihir!”
“Dunia... apa?” Damian meninggikan suaranya.
Tiba-tiba muncul asap hitam yang bergerak cepat ke arah mereka. Sedetik kemudian asap itu berubah menjadi pria paruh baya yang mengenakan jubah aneh berwarna hitam. Pria itu membungkuk hormat pada kakeknya.
“Vilius?” pria itu menyalami kakek.
“Perkenalkan, ini temanku, Simon Hasselaer. Ia adalah kepala sekolah dari akademi sihir terbaik, Giuseppe School.”
“SIHIR??????”
Kakek mendengus kesal lalu menjentikkan jari dan dengan tiba-tiba mulut Damian terkatup rapat. Mata Damian terbelalak karena terkejut, ia berusaha berbicara tapi tidak dapat mengeluarkan sepatah katapun, hanya erangan tidak jelas.
“Penting untuk menjaga nada suara disini. Kita tidak ingin mystical creature atau pemberontak mendengarnya, kan? Dan satu hal lagi, nama asliku adalah Vilius Sigismund. William adalah namaku di Dunia Pertama.”
“Heh??” Damian masih tampak bingung.
Saat kakek yang menginginkan nama aslinya digunakan kembali menjentikkan jari, Damian dapat membuka mulutnya dan terengah-engah. Ia masih bingung dengan semua yang terjadi. Akhirnya kakek Vilius dan Mr. Simon Hasselaer membawanya masuk ke salah satu rumah kosong di tempat itu. Mereka menjelaskan semuanya pada Damian, termasuk sihir dan dunianya.
“Jadi, kau adalah Damian Sigismund, seorang Penyihir Murni. Dengar, kami menyebut dunia sihir sebagai Dunia Kedua, dunia yang aman bagi kami. Lalu dunia bagi manusia biasa atau yang biasa kami sebut sebagai rabble adalah Dunia Pertama. Rabble tidak dapat memasuki Dunia Kedua, tapi para penyihir dapat memasuki Dunia Pertama. Disini sihir adalah nyata, kehidupan sehari-hari.
Penyihir terdiri dari tiga jenis. Yang pertama adalah Penyihir Murni, atau orang yang dapat melakukan sihir tanpa perantara. Sihir akan keluar hanya dengan memikirkannya, keluar dari anggota tubuh. Contohnya adalah kita bertiga. Lalu jenis kedua adalah Penyihir Menengah, orang yang memanggil makhluk gaib seperti jin, iblis, imp, dan sebangsa itu. Mereka melakukan kontrak dengan makhluk-makhluk itu, menjadikannya sebagai budak, memaksa para makhluk itu mengeluarkan sihir mereka untuk mencapai tujuan dan permintaan dari penyihir yang memanggil mereka. Jenis ketiga adalah Penyihir Klasik, kau tahu, sangat klasik karena mengeluarkan sihir dari Tongkat Sihir mereka. Menggunakan mantra tertentu yang menghasilkan sihir. Kebanyakan tidak berdaya tanpa tongkat sihir mereka. Lalu transfer yang kita lakukan tadi adalah cara bagi Penyihir Murni untuk berpindah tempat dalam waktu sekejap. Kemudian, tempat ini adalah Tiffin Village, desa bagi para penyihir pinggiran. Kau tahu, kebanyakan dari mereka tinggal di desa. Kalau kau transfer dengan gelombang yang tepat, maka kau akan berada di sebuah lokasi yang menguntungkan di London.” ucap Vilius.
“Tunggu! Tiffin? Apa aku akan sampai di sekolah khusus wanita Tiffin?” Damian terbelalak.
“Oh, anak cerdas! Tentu saja.” Mr. Hasselaer tertawa.
“Apa Dad dan yang lain tahu tentang ini?” tanya Damian pelan.
“Dimitri, Vanessa, dan Sophia adalah Penyihir Murni yang hebat. Kedua saudaramu terlalu hebat untuk masuk ke sekolah sihir. Itu akan percuma mengajari anak yang sangat jenius dalam sihir.” jawab Vilius tenang.
“Jadi aku termasuk bodoh?”
“Oh, bukan begitu. Kau adalah anak yang hebat juga. Hanya saja kau terlambat mendapatkan kekuatanmu. Vanessa maupun Sophia dapat menghasilkan sihir sejak lahir. Kau, baru mendapatkan itu sekitar tiga bulan yang lalu. Kau pikir kenapa toko roti di daerah Beverly Hills terbakar ketika kau lewat? Semua itu karena kau tidak sengaja menginginkannya karena penjaga disana pernah melemparmu dengan ember.”
“Yah, itu karena mereka mengira aku yang memecahkan kaca toko. Padahal itu perbuatan para berandalan.”
“Ayahmu mengetahuinya, jadi kami menyusun rencana agar kau segera dipindahkan kesini, jadi aku bisa lebih mudah membawamu transfer langsung menuju Dunia Kedua. Sihir di Inggris sangat kuat.”
“Jadi itu alasan aku di rayu dengan menggunakan The Latymer School?”
“Kurang lebih seperti itu. Latymer di Hammersmith itu adalah lokasi Giuseppe School di Dunia Kedua.”
“Apa??”
“Sudah kubilang untuk mengecilkan suaramu!”
Vilius membawa Damian menuju lapangan luas. Kali ini Damian disuruh untuk melakukan transfer sendiri. Ia disuruh untuk membayangkan taman hijau yang luas bernama Gracelstones. Beberapa detik pertama Damian tidak merasakan apapun, lalu secara tiba-tiba ia kembali merasa berputar kemudian kembali terjatuh pada kedua lutut. Walau tidak muntah seperti tadi, efek dari transfer membuat kepalanya hampir putus. Damian terbaring di atas rumput-rumput hijau. Ia dapat mendengar omelan Vilius dan tawa dari Mr. Hasselaer.
“Bangun, Nak! Kita akan melihat sehebat apa kekuatan yang kau pendam selama enam belas tahun itu.” kata Vilius dengan lantang.
Damian mencoba berdiri walau kepalanya masih sangat pusing. Diam-diam ia mengutuk kakeknya itu yang membuatnya terkejut dan hampir mati sejak tadi.
“Untuk orang yang menggunakan transfer pertama kali, kau adalah penyihir paling hebat. Biasanya salah satu organ tubuh akan berkurang. Aku dan Grandpa-mu saja mengeluarkan darah yang banyak dari hidung kami ketika pertama kali melakukannya.” Mr. Hasselaer tertawa pelan.
Damian kagum dengan Mr. Hasselaer yang sangat berwibawa tidak seperti kakeknya yang menyeramkan, pemaksa, tukang perintah, dan sedikit menyebalkan. Baru kali ini ada orang yang memujinya karena telah melakukan sesuatu yang menurut dirinya sendiri sangat payah.
“Sekarang, cobalah hasilkan sihir. Bayangkan apapun asal tidak berbahaya.”
Damian menuruti perintah kakeknya. Ia menengadahkan telapak tangannya. Ia membayangkan ada bola api yang dapat melayang di atas telapak tangannya itu. Perlahan ia merasakan kehangatan di telapak tangan kanannya, lalu muncul api sedikit demi sedikit. Akhirnya ada bola api berukuran sedang melayang di atas telapak tangannya. Damian membelalakkan mata dan tertawa senang. Vilius dan Mr. Hasselaer takjub melihat itu. Damian kehilangan konsentrasi dan bola api itu membesar tiba-tiba membuat tangannya terbakar. Damian menjerit terkejut dan Vilius mengeluarkan air dari tangannya serta memadamkan api. Tangan Damian tidak terluka hanya saja ia merasa kepanasan.
“Sihir perlu dikontrol. Kalau tidak, sihir akan membunuhmu.” Vilius melotot pada Damian.
“Baiklah. Kurasa cukup untuk hari ini. Kau adalah penyihir yang luar biasa, Damian. Hanya perlu pelatihan sedikit maka kau akan menjadi yang terkuat. Vilius, kalian kembalilah ke Dunia Pertama. Besok Damian akan melakukan tes penempatan asrama dengan anak-anak baru lainnya.” kata Mr. Hasselaer ramah.
“Aku membawanya pulang? Dia harus pulang sendiri!!”
Vilius melipat tangan didepan dada dan menatap cucunya sambil mengangkat sebelah alisnya. Damian menelan ludah dan ketakutan. Ia akan melakukan transfer sekali lagi dan membuat perutnya memuntahkan makanan lagi. Tapi tatapan kakeknya lebih mengerikan daripada membuat perutnya kosong. Dengan terpaksa Damian berkonsentrasi dan membayangkan pusat perbelanjaan tempatnya terakhir kali berdiri. Sensasi memualkan kembali menghampirinya, namun kali ini ia berusaha bertahan.
“Damian?”
Suara Sophia membuatnya membuka mata. Ia telah sampai kembali ke tempat semula. Vanessa berdiri sambil berpose dan tersenyum jahil padanya. Dimitri, ayahnya, berdehem pelan. Adik kecilnya, Sophia, berdiri tak jauh darinya, menatap penuh kekhawatiran.
“Jangan tanya aku! Grandpa benar-benar gila!! Jangan jelaskan apapun karena aku sudah tahu semuanya.”
Damian berjalan tertatih-tatih dengan wajah pucat. Keluarganya berjalan dibelakang sambil tertawa pelan. Vanessa lalu menggandeng lengan Damian.
“Kau tidak ingin tahu kemana kami pergi setiap liburan musim panas?” tanya Vanessa sambil menahan tawa.
“Mempraktekkan sihir?” tebak Damian tidak semangat.
“Hampir tepat. Dad melatih kekuatan kami. Itulah kenapa kau dapat merasa senang karena melakukan hal yang kau sukai tanpa diganggu siapapun. Dad pikir ini baik untukmu, karena sihir belum berhasil kau munculkan.”
Damian hanya diam. Ia terus begitu bahkan ketika sampai dirumah. Ia masih belum dapat menerima ini. Sihir dan segala sesuatunya, yang merupakan hal-hal diluar akal sehat. Ia mencoba membekukan air kolam renang hanya untuk memastikan semua itu bukanlah mimpi yang konyol. Dengan sekejap seluruh air di kolam renang berubah menjadi es. Damian menjerit tertahan dan berlari masuk seolah tidak pernah melakukan apapun. Ia menuju kamarnya, membuka lemari pakaian, dan melihat seragamnya yang telah di katakan kakeknya tadi. Seragam-seragam berwarna hitam yang tanpa disangka cukup keren. Damian mencoba mengenakannya dan membayangkan agar seluruh seragam ini sedikit dimodifikasi sesuai gayanya. Ketika ia membuka mata, hasilnya sungguh memuaskan. Ada lambang sekolah di setiap kemeja maupun jas sekolah. Huruf G yang dikelilingi naga dan api, cukup artistik. Damian menggeleng pelan dan membereskan seragam. Ia memutuskan untuk tidur ketika terdengar suara Dimitri yang mengeluh karena harus mencairkan isi kolam renang yang membeku.
Keesokan paginya Damian sudah siap dengan kaus tipis berlengan panjang warna hitam dan syal hitam dileher. Ia menunggu kakeknya di ujung jalan dekat rumah. Sekelebat cahaya menyinari wajahnya dan Vilius Sigismund muncul dengan raut wajah kerasnya.
“Ayo, kita tidak punya waktu.”
Damian hanya diam dan ia sudah tahu apa yang harus dilakukan. Ia ber-transfer menuju sebuah bangunan besar dan tinggi yang dijaga orang-orang berbadan besar. Mereka berlutut dan menunduk ketika melihat Vilius, lalu pintu besar dibuka. Damian berjalan di belakang kakeknya dan memandangi sekeliling ruangan yang aneh dan penuh benda-benda serta aura sihir yang kuat. Ia dan kakeknya masuk ke salah satu ruangan, kemudian disuruh berjalan sendiri menuju ruangan lain dibalik pintu yang ada dihadapan mereka. Vilius harus pergi untuk mengurus sesuatu yang mendadak. Damian hanya disuruh untuk ber-transfer ketika sudah berada di depan gedung itu persis ketika mereka datang.
Damian masuk perlahan ke ruangan besar itu. Disana berdiri beberapa remaja seusianya. Mereka semua memandang dingin ke arah Damian. Seorang anak lelaki berambut coklat dan cukup tampan mendekatinya dengan senyum diwajah.
“Hai, aku Mischa Duncan.”
“Hm, aku Damian.”
“Damian? Sepertinya aku pernah melihatmu. Apakah kau pernah berada di salah satu tempat hiburan malam di Los Angeles?”
“Yah, aku pernah menjadi DJ disana. Hanya semalam. Itu juga karena bantuan teman ayahku.”
“DJ Damian?”

Mischa tertawa senang menyadari bahwa Damian adalah DJ muda yang dikaguminya ketika berada di tempat hiburan malam milik ayahnya.

“Aku dari Amerika. Sangat aneh ketika ada pria paruh baya pirang berjubah hitam datang pada ayahku dan mengatakan bahwa aku adalah penyihir. Kau tahu, ayahku tidak bisa mengedipkan matanya beberapa lama, dan hampir mati kaku.”
“Yah, aku juga terkejut, tapi karena hanya aku yang tidak tahu sementara seluruh keluargaku adalah penyihir dan mereka menyembunyikannya. Well, pria paruh baya yang kau maksud adalah kepala sekolah di Giuseppe School.”
“Kepala sekolah? Kukira ia seorang Pastor?! Ia sangat ramah dan baik.” Mischa kembali tertawa.
“Hm, Mischa, kenapa orang-orang memandangiku begitu?”
“Yah, kau tahu, aku mencari pakaian yang paling sederhana agar tidak mencolok. Yang kudapat hanya kaus berlengan pendek warna biru ini. Kau, ehm, datang dengan gaya yang lebih cocok di Hollywood ketimbang di dunia sihir. Sangat modis, dan serba hitam.”
“Aku suka hitam.”
“Yah, hitam adalah warna para Penyihir Murni dari Asrama Hitam. Kau telah mendeklarasikan bahwa dirimu adalah Penyihir Murni dan pasti akan masuk ke Asrama Hitam.”
Seorang anak lelaki mungil berkacamata tiba-tiba ada didekat mereka. Damian tidak terlalu suka dengan tatapan meneliti milik anak ini.
“Ah, ini adalah Shawn Barclay. Aku bertemu dengannya sepuluh menit yang lalu dan dia telah menceritakan segala sesuatu di dunia sihir. Sebagian besar tidak kumengerti.” Mischa tersenyum tipis.
Seorang wanita paruh baya datang bersama Mr. Hasselaer. Tiba-tiba ruangan besar itu berubah menjadi lapangan berumput hijau yang sangat luas. Lapangan ini terbuka, Damian dapat merasakan angin sejuk yang berhembus dan udara segar disana. Mereka semua disuruh untuk mengeluarkan sihir. Pertama, tanpa perantara apapun. Jika tidak menghasilkan apapun, maka disuruh membuat lingkaran pemanggil dan memanggil jin. Jika tidak bisa juga maka akan disuruh menggunakan tongkat sihir. Mereka disuruh menghasilkan sihir sebanyak yang mereka mampu. Satu persatu anak-anak itu memunculkan sihir mereka. Sebagian besar dapat menggunakan lingkaran pemanggil, beberapa hanya dapat mengeluarkan sihir dengan tongkat. Belum ada satupun yang berhasil mengeluarkan sihir tanpa perantara. Si mungil Shawn hanya bisa menggunakan tongkat sihir. Tersisa Damian dan Mischa. Setelah berkonsentrasi cukup lama, Mischa dapat menghasilkan sihir tanpa perantara apapun. Ia bisa menghasilkan beberapa sihir. Semua anak-anak itu kagum bercampur kesal. Mischa dinyatakan sebagai Penyihir Murni dan masuk ke Asrama Hitam. Terakhir adalah Damian. Ia telah berlatih sebelumnya dengan mengontrol kekuatannya. Damian dapat mengeluarkan sihir yang banyak tanpa kelelahan. Bahkan Mr. Hasselaer juga bingung.
“Sudah cukup. Damian, sudah cukup!” ucap Mr. Hasselaer tenang.
“Dengan ini aku nyatakan Damian Sigismund sebagai Penyihir Murni dan masuk ke Asrama Atradael.”
Atradael adalah nama sesungguhnya dari Asrama Hitam. Setelah Mr. Hasselaer dan wanita tadi pergi, ruangan kembali pada keadaan semula. Mischa merangkul pundak Damian dengan penuh semangat dan tertawa. Hanya mereka berdua yang masuk ke Asrama Atradael.
“Sigismund? Kau seorang Sigismund??” tanya seorang anak dengan wajah tidak percaya.
“Yah, aku adalah Damian Sigismund.” jawab Damian bingung.
Anak-anak lain pergi sambil melihat Damian dan menunjukkan ekspresi tidak percaya. Shawn mendekati Mischa dan Damian sambil menghela napas.
“Damian, kau akan menghadapi saat-saat terberat di Giuseppe. Kau harus bersabar.” Shawn memandangnya dengan kasihan lalu pergi.
“Wow, kedengaran aneh.” gumam Mischa.
Damian dan Mischa berpisah didepan gedung. Mr. Hasselaer akan mengantar Mischa ke rumahnya karena anak itu belum mahir dalam transfer.
“Kau akan ber-transfer??” Mischa memandang ngeri pada Damian.
Mischa terlihat pucat dan memegang perut serta mulutnya. Ia dan Mr. Hasselaer pergi sementara Damian juga kembali menuju Dunia Pertama. Damian masih merasakan efek transfer. Ia hampir memuntahkan sarapannya. Entah sampai kapan ia akan seperti ini, mual setiap kali transfer. Damian berjalan pelan menuju rumahnya yang hanya beberapa meter. Didepan rumah Vanessa menunggunya sambil tersenyum tidak sabar. Ketika Damian datang ia segera menggandeng lengan adiknya itu.
“Kau masuk ke Atradael?” tanya Vanessa.
“Yah, setelah melakukan tes aku dimasukkan ke Asrama Atradael.”
Vanessa tertawa mendengarnya. Damian bingung melihat perubahan sikap Vanessa. Ia tertawa geli dan itu tidak pernah dilihat Damian dari Vanessa. Kakaknya itu selalu anggun, senang menggodanya, paling dia hanya tertawa pelan.
“Kau benar-benar dikerjai! Sebenarnya tanpa perlu di tes kau tetap akan masuk ke Asrama Atradael. Grandpa dan Mr. Hasselaer benar-benar mengerjaimu. Semua penyihir tahu, hanya Penyihir Murni yang bisa transfer dan mengeluarkan sihir dari anggota tubuhnya.” Vanessa masih tertawa.
Damian seharusnya sudah tahu ini. Kakeknya benar-benar menyebalkan. Ia dapat membayangkan lelaki pucat itu sedang tertawa terbahak-bahak karena berhasil mengerjai cucunya. Sebuah mobil SUV mewah berwarna hitam masuk ke halaman rumah, dan berhenti didepan garasi. Dimitri dan Sophia keluar sambil membawa bahan makanan yang banyak. Damian dan Vanessa membantu mereka membawa barang belanjaan. Mereka akan memasak makan siang terakhir dan makan malam terakhir sebelum Damian berangkat menuju Giuseppe School besok. Sophia membantunya memasukkan baju-baju dan perlengkapan lainnya kedalam koper. Damian memaksa untuk membawa peralatannya dalam membuat musik, tapi niatnya itu diurungkan saat Dimitri berkata bahwa peralatan elektronik dari Dunia Pertama yang tidak dilengkapi sihir saat pembuatannya tidak bisa berfungsi di Dunia Kedua.
Damian melihat kelangit malam di Kota London. Ia akan merindukannya. Sejak mereka pindah ke Amerika sepuluh tahun yang lalu, baru kali ini ia dapat menikmatinya kembali. Ia tersenyum. Besok ia akan masuk ke dunia yang menurut semua orang adalah di luar akal sehat. Yah, ia juga masih belum yakin. Mungkin saja besok pagi ketika ia membuka mata, semuanya menghilang seperti tidak pernah terjadi. Kalaupun itu nyata, maka ia tidak terlalu sedih. Ia menemukan seorang anak lelaki berambut coklat yang pasti sangat menarik untuk diajak mengungkap segala rahasia yang masih belum terpecahkan di dunia sihir. Mereka akan membuat sejarah sihir baru. Ia tertawa saat mengingat anak lelaki mungil berkacamata.
“Maaf, Shawn. Bukan maksudku untuk melupakanmu.” Damian tertawa pelan dan pergi tidur.
*        *    *
 
D
N
A
L
Y
S
A
T
N
A
F
S
I
S
I
H
T