Musik berirama cepat mengalun dengan cukup
keras dan menggema ke seluruh bagian rumah berlantai dua itu. Seorang anak
lelaki berusia enam belas tahun memakai headphone
di kedua telinganya, memainkan piringan hitam yang ada dihadapannya, sesekali
menekan atau memutar tombol-tombol kecil disamping piringan itu. Ia melihat
kearah laptop didepannya yang menampilkan gelombang-gelombang suara yang
bergerak naik dan turun. Dilantai bawah duduk seorang gadis berusia tujuh belas
tahun dengan santai di sofa, menampilkan pose dari tubuh seksinya. Tak jauh dari
gadis itu, seorang gadis lain berusia lima belas tahun duduk di lantai dan
menulis not-not balok dibuku catatannya. Mereka berdua tidak terganggu sama
sekali dengan keributan yang dibuat anak lelaki dilantai atas.
Sorang pria berusia tiga puluh delapan tahun
tapi memiliki penampilan dan wajah seperti berusia dua puluh tahun, mendekati
kedua gadis itu sambil memegang segelas air ditangan kanannya. Ia terasa tidak
cocok untuk menjadi ayah bagi ketiga anak-anak itu, lebih pantas sebagai
saudara tertua.
“Wow, ada apa dengan maestro itu? Mencoba
komposisi baru? Aku harus pergi ke rumah sakit jika ia terus menambah volume
musik itu.”
Ucapan ayah mereka membuat kedua gadis itu
tertawa kecil. Anak ke-tiga menunjukkan catatannya kepada sang ayah.
“Dad, aku sudah menyelesaikan komposisi musik
baru. Bagaimana menurutmu? Apa bisa ditampilkan dalam konser minggu depan?”
“Hm, sedikit perbaikan di akhir. Kau harus
membuat kejutan di akhir agar mereka merasa takjub, Sophia.”
“Terima kasih, Dad.”
Anak pertama tersenyum manis, melirik ayah
dan anak itu dari balik majalah yang dipegangnya.
“Aku akan menghentikan DJ itu sebelum para
tetangga datang dan memarahiku. Vanessa, pakai baju yang lebih tertutup!”
“Dad, aku sedang bersantai. Tidak masalah
memakai baju ini.”
“Jam berapa kau selesai semalam?”
“Well, pengambilan gambar terakhir selesai
pukul dua pagi.”
“Baiklah, berarti kau libur.”
Dimitri Sigismund, menaiki tangga menuju
kamar dilantai atas. Ia membuka pintu kamar itu dan anak lelaki yang ada di sana
menoleh ke arahnya. Hanya dari tatapan sang ayah, ia segera mengerti dan
mematikan peralatan audionya.
“Cepat bersiap!”
Dimitri menunjuk piyama yang masih dikenakan
anak lelakinya, dan beranjak keluar. Anak bernama Damian Sigismund itu
mengambil handuk dan memasuki kamar mandi. Hanya sebentar dia didalam lalu
keluar kembali dengan handuk melilit tubuh dan rambut basah. Ia segera memilih kaus
berlengan panjang warna hitam dan jaket berwarna putih. Rambut hitamnya dibuat
semenarik mungkin. Ia bersyukur mewarisi penampilan keren dari ayahnya. Ia baru
pindah dari Los Angeles dan meninggalkan tempat terindah baginya, Beverly Hills.
Ayahnya adalah seorang musisi ternama, semua jenis musik dikuasainya terutama
musik klasik. Kakaknya, Vanessa Sigismund, adalah seorang aktris berbakat dan
tubuh seksi serta wajah cantiknya merupakan nilai tambah. Adiknya, Sophia
Sigismund, merupakan musisi musik klasik muda berbakat, sifat polos dan
ramahnya merupakan daya tarik tersendiri disamping wajah cantik warisan dari
gen orang tua mereka. Damian sendiri bukanlah anak yang terkenal seperti
anggota keluarganya itu. Ia tidak tertarik sama sekali dengan musik klasik
ataupun akting. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian saat berjalan kemanapun,
dibuntuti papparazzi, seperti ayah dan saudara-saudaranya. Ia hanya ingin
menjadi Disc Jockey, membuat musik-musik bertempo cepat, dan membuat
orang-orang melupakan masalah mereka.
“Damian, ayo!”
Vanessa tiba-tiba masuk saat Damian memakai
syal hitamnya. Ia tidak marah sedikitpun pada kakaknya itu karena tidak
mengetuk pintu. Vanessa, walau berpenampilan seperti bad girl, ia adalah sosok yang anggun, ramah, dewasa, baik, dan
mengagumkan. Ayahnya bilang Vanessa sangat mirip ibu mereka yang telah
meninggal sejak Sophia berumur dua bulan, baik wajah maupun sifat. Dimitri
Sigismund tidak pernah memasang foto istrinya di rumah mereka maupun
menunjukkan pada anak-anaknya. Yang Damian yakin adalah ibunya pastilah wanita
Asia karena mata sipit mereka bukanlah dari Dimitri, ayahnya.
“Nessie, kau akan ikut juga?”
“Ya, tentu.”
Damian hanya menghela nafas dengan berat. Ia
lalu menuju lantai bawah untuk makan bersama keluarganya. Ia sudah bisa menebak
apa yang akan menimpanya nanti. Hari ini ia akan membeli perlengkapan sekolah
baru. Semalam ia mendapat surat dari kakeknya, William Sigismund, bersamaan
dengan surat dari sekolah barunya. Ia didaftarkan ke sebuah sekolah berasrama
yaitu GIUSEPPE, diambil dari nama pendirinya Giuseppe Aston. Nama yang aneh.
Damian tidak pernah mendengar ada sekolah bernama Giuseppe di Inggris. Ia pikir
akan dimasukkan ke The Latymer School seperti janji ayahnya agar ia mau pindah
ke London.
Ia berjalan di pusat perbelanjaan bersama
tiga orang yang sangat menarik perhatian. Ia dengan cepat memilih perlengkapan
sekolah dan baju-baju baru untuk di asrama. Ia juga membeli sepatu dan
perlengkapan lainnya. Semua itu dilakukannya agar segera keluar dari kerumunan
orang disini.
“Rabble
memang menyusahkan!”
Suara yang tenang dan berat membuat Damian terkejut.
Ia menoleh ke sebelah kiri. William Sigismund, kakek berusia enam puluh tiga
tahun itu masih tampak gagah dengan rambut hitam dan badan tegapnya. Ia tampak
seperti berusia empat puluh tahun walau kulitnya pucat. Wajahnya tegas dan
galak. Kakeknya ini selalu menyebut orang-orang disekelilingnya sebagai rabble atau rakyat jelata. Damian tidak
pernah tahu apakah kakeknya ini bangsawan atau bukan.
“Seragammu sudah datang. Ada dilemari
pakaian. Hm, sebaiknya perbanyak kaus saja. Aku yakin kau akan membutuhkan
baju-baju itu disana.”
“Grandpa, kurasa itu tidak perlu. Itu hanya
sekolah asrama, tidak terlalu banyak kegiatan. Lagipula hanya akan memperberat
bagasiku.”
“Kau tidak tahu kegiatan apa saja disana,
Damian. Itu bukan sekedar ‘sekolah berasrama’, Nak.”
Ucapan kakeknya sedikit menyeramkan, dan
semuanya terasa berputar saat kakek memegang lengannya dan memejamkan mata.
Damian terjatuh pada lutut. Seluruh isi perutnya mendesak keluar dan seketika
ia memuntahkan seluruh sarapannya pagi ini.
“Ugh, menjijikkan, Nak! Kau harus belajar
agar lebih terbiasa saat transfer.
Itu adalah ciri khas kita.”
Damian sangat bingung dengan apa yang barusan
terjadi, ia masih pusing, jadi tidak begitu mendengar ucapan kakeknya. Ia dapat
melihat kakeknya itu melihat sekeliling. Tempat aneh, sepi, seperti bukan di
London.
“Grandpa, kita ada dimana? Ini bukan London.”
tanya Damian parau sambil mengelap mulutnya.
“Dunia Kedua.”
“Hah? Apa?”
“Dunia Kedua, Nak!! Ini adalah dunia sihir!”
“Dunia... apa?” Damian meninggikan suaranya.
Tiba-tiba muncul asap hitam yang bergerak
cepat ke arah mereka. Sedetik kemudian asap itu berubah menjadi pria paruh baya
yang mengenakan jubah aneh berwarna hitam. Pria itu membungkuk hormat pada
kakeknya.
“Vilius?” pria itu menyalami kakek.
“Perkenalkan, ini temanku, Simon Hasselaer.
Ia adalah kepala sekolah dari akademi sihir terbaik, Giuseppe School.”
“SIHIR??????”
Kakek mendengus kesal lalu menjentikkan jari
dan dengan tiba-tiba mulut Damian terkatup rapat. Mata Damian terbelalak karena
terkejut, ia berusaha berbicara tapi tidak dapat mengeluarkan sepatah katapun, hanya
erangan tidak jelas.
“Penting untuk menjaga nada suara disini.
Kita tidak ingin mystical creature
atau pemberontak mendengarnya, kan? Dan satu hal lagi, nama asliku adalah
Vilius Sigismund. William adalah namaku di Dunia Pertama.”
“Heh??” Damian masih tampak bingung.
Saat kakek yang menginginkan nama aslinya
digunakan kembali menjentikkan jari, Damian dapat membuka mulutnya dan
terengah-engah. Ia masih bingung dengan semua yang terjadi. Akhirnya kakek
Vilius dan Mr. Simon Hasselaer membawanya masuk ke salah satu rumah kosong di
tempat itu. Mereka menjelaskan semuanya pada Damian, termasuk sihir dan
dunianya.
“Jadi, kau adalah Damian Sigismund, seorang
Penyihir Murni. Dengar, kami menyebut dunia sihir sebagai Dunia Kedua, dunia
yang aman bagi kami. Lalu dunia bagi manusia biasa atau yang biasa kami sebut
sebagai rabble adalah Dunia Pertama. Rabble tidak dapat memasuki Dunia Kedua,
tapi para penyihir dapat memasuki Dunia Pertama. Disini sihir adalah nyata,
kehidupan sehari-hari.
Penyihir terdiri dari tiga jenis. Yang
pertama adalah Penyihir Murni, atau orang yang dapat melakukan sihir tanpa
perantara. Sihir akan keluar hanya dengan memikirkannya, keluar dari anggota
tubuh. Contohnya adalah kita bertiga. Lalu jenis kedua adalah Penyihir
Menengah, orang yang memanggil makhluk gaib seperti jin, iblis, imp, dan sebangsa itu. Mereka melakukan
kontrak dengan makhluk-makhluk itu, menjadikannya sebagai budak, memaksa para
makhluk itu mengeluarkan sihir mereka untuk mencapai tujuan dan permintaan dari
penyihir yang memanggil mereka. Jenis ketiga adalah Penyihir Klasik, kau tahu,
sangat klasik karena mengeluarkan sihir dari Tongkat Sihir mereka. Menggunakan
mantra tertentu yang menghasilkan sihir. Kebanyakan tidak berdaya tanpa tongkat
sihir mereka. Lalu transfer yang kita
lakukan tadi adalah cara bagi Penyihir Murni untuk berpindah tempat dalam waktu
sekejap. Kemudian, tempat ini adalah Tiffin Village, desa bagi para penyihir
pinggiran. Kau tahu, kebanyakan dari mereka tinggal di desa. Kalau kau transfer dengan gelombang yang tepat,
maka kau akan berada di sebuah lokasi yang menguntungkan di London.” ucap
Vilius.
“Tunggu! Tiffin? Apa aku akan sampai di
sekolah khusus wanita Tiffin?” Damian terbelalak.
“Oh, anak cerdas! Tentu saja.” Mr. Hasselaer
tertawa.
“Apa Dad dan yang lain tahu tentang ini?”
tanya Damian pelan.
“Dimitri, Vanessa, dan Sophia adalah Penyihir
Murni yang hebat. Kedua saudaramu terlalu hebat untuk masuk ke sekolah sihir.
Itu akan percuma mengajari anak yang sangat jenius dalam sihir.” jawab Vilius
tenang.
“Jadi aku termasuk bodoh?”
“Oh, bukan begitu. Kau adalah anak yang hebat
juga. Hanya saja kau terlambat mendapatkan kekuatanmu. Vanessa maupun Sophia
dapat menghasilkan sihir sejak lahir. Kau, baru mendapatkan itu sekitar tiga
bulan yang lalu. Kau pikir kenapa toko roti di daerah Beverly Hills terbakar
ketika kau lewat? Semua itu karena kau tidak sengaja menginginkannya karena
penjaga disana pernah melemparmu dengan ember.”
“Yah, itu karena mereka mengira aku yang
memecahkan kaca toko. Padahal itu perbuatan para berandalan.”
“Ayahmu mengetahuinya, jadi kami menyusun
rencana agar kau segera dipindahkan kesini, jadi aku bisa lebih mudah membawamu
transfer langsung menuju Dunia Kedua.
Sihir di Inggris sangat kuat.”
“Jadi itu alasan aku di rayu dengan
menggunakan The Latymer School?”
“Kurang lebih seperti itu. Latymer di
Hammersmith itu adalah lokasi Giuseppe School di Dunia Kedua.”
“Apa??”
“Sudah kubilang untuk mengecilkan suaramu!”
Vilius membawa Damian menuju lapangan luas. Kali
ini Damian disuruh untuk melakukan transfer
sendiri. Ia disuruh untuk membayangkan taman hijau yang luas bernama
Gracelstones. Beberapa detik pertama Damian tidak merasakan apapun, lalu secara
tiba-tiba ia kembali merasa berputar kemudian kembali terjatuh pada kedua
lutut. Walau tidak muntah seperti tadi, efek dari transfer membuat kepalanya hampir putus. Damian terbaring di atas
rumput-rumput hijau. Ia dapat mendengar omelan Vilius dan tawa dari Mr.
Hasselaer.
“Bangun, Nak! Kita akan melihat sehebat apa
kekuatan yang kau pendam selama enam belas tahun itu.” kata Vilius dengan
lantang.
Damian mencoba berdiri walau kepalanya masih
sangat pusing. Diam-diam ia mengutuk kakeknya itu yang membuatnya terkejut dan
hampir mati sejak tadi.
“Untuk orang yang menggunakan transfer pertama kali, kau adalah
penyihir paling hebat. Biasanya salah satu organ tubuh akan berkurang. Aku dan
Grandpa-mu saja mengeluarkan darah yang banyak dari hidung kami ketika pertama
kali melakukannya.” Mr. Hasselaer tertawa pelan.
Damian kagum dengan Mr. Hasselaer yang sangat
berwibawa tidak seperti kakeknya yang menyeramkan, pemaksa, tukang perintah,
dan sedikit menyebalkan. Baru kali ini ada orang yang memujinya karena telah
melakukan sesuatu yang menurut dirinya sendiri sangat payah.
“Sekarang, cobalah hasilkan sihir. Bayangkan
apapun asal tidak berbahaya.”
Damian menuruti perintah kakeknya. Ia
menengadahkan telapak tangannya. Ia membayangkan ada bola api yang dapat
melayang di atas telapak tangannya itu. Perlahan ia merasakan kehangatan di
telapak tangan kanannya, lalu muncul api sedikit demi sedikit. Akhirnya ada
bola api berukuran sedang melayang di atas telapak tangannya. Damian
membelalakkan mata dan tertawa senang. Vilius dan Mr. Hasselaer takjub melihat
itu. Damian kehilangan konsentrasi dan bola api itu membesar tiba-tiba membuat
tangannya terbakar. Damian menjerit terkejut dan Vilius mengeluarkan air dari
tangannya serta memadamkan api. Tangan Damian tidak terluka hanya saja ia
merasa kepanasan.
“Sihir perlu dikontrol. Kalau tidak, sihir
akan membunuhmu.” Vilius melotot pada Damian.
“Baiklah. Kurasa cukup untuk hari ini. Kau
adalah penyihir yang luar biasa, Damian. Hanya perlu pelatihan sedikit maka kau
akan menjadi yang terkuat. Vilius, kalian kembalilah ke Dunia Pertama. Besok Damian
akan melakukan tes penempatan asrama dengan anak-anak baru lainnya.” kata Mr.
Hasselaer ramah.
“Aku membawanya pulang? Dia harus pulang
sendiri!!”
Vilius melipat tangan didepan dada dan
menatap cucunya sambil mengangkat sebelah alisnya. Damian menelan ludah dan
ketakutan. Ia akan melakukan transfer
sekali lagi dan membuat perutnya memuntahkan makanan lagi. Tapi tatapan
kakeknya lebih mengerikan daripada membuat perutnya kosong. Dengan terpaksa
Damian berkonsentrasi dan membayangkan pusat perbelanjaan tempatnya terakhir
kali berdiri. Sensasi memualkan kembali menghampirinya, namun kali ini ia
berusaha bertahan.
“Damian?”
Suara Sophia membuatnya membuka mata. Ia
telah sampai kembali ke tempat semula. Vanessa berdiri sambil berpose dan
tersenyum jahil padanya. Dimitri, ayahnya, berdehem pelan. Adik kecilnya,
Sophia, berdiri tak jauh darinya, menatap penuh kekhawatiran.
“Jangan tanya aku! Grandpa benar-benar gila!!
Jangan jelaskan apapun karena aku sudah tahu semuanya.”
Damian berjalan tertatih-tatih dengan wajah
pucat. Keluarganya berjalan dibelakang sambil tertawa pelan. Vanessa lalu
menggandeng lengan Damian.
“Kau tidak ingin tahu kemana kami pergi
setiap liburan musim panas?” tanya Vanessa sambil menahan tawa.
“Mempraktekkan sihir?” tebak Damian tidak semangat.
“Hampir tepat. Dad melatih kekuatan kami.
Itulah kenapa kau dapat merasa senang karena melakukan hal yang kau sukai tanpa
diganggu siapapun. Dad pikir ini baik untukmu, karena sihir belum berhasil kau
munculkan.”
Damian hanya diam. Ia terus begitu bahkan
ketika sampai dirumah. Ia masih belum dapat menerima ini. Sihir dan segala
sesuatunya, yang merupakan hal-hal diluar akal sehat. Ia mencoba membekukan air
kolam renang hanya untuk memastikan semua itu bukanlah mimpi yang konyol.
Dengan sekejap seluruh air di kolam renang berubah menjadi es. Damian menjerit
tertahan dan berlari masuk seolah tidak pernah melakukan apapun. Ia menuju
kamarnya, membuka lemari pakaian, dan melihat seragamnya yang telah di katakan
kakeknya tadi. Seragam-seragam berwarna hitam yang tanpa disangka cukup keren.
Damian mencoba mengenakannya dan membayangkan agar seluruh seragam ini sedikit
dimodifikasi sesuai gayanya. Ketika ia membuka mata, hasilnya sungguh
memuaskan. Ada lambang sekolah di setiap kemeja maupun jas sekolah. Huruf G
yang dikelilingi naga dan api, cukup artistik. Damian menggeleng pelan dan
membereskan seragam. Ia memutuskan untuk tidur ketika terdengar suara Dimitri
yang mengeluh karena harus mencairkan isi kolam renang yang membeku.
Keesokan paginya Damian sudah siap dengan
kaus tipis berlengan panjang warna hitam dan syal hitam dileher. Ia menunggu
kakeknya di ujung jalan dekat rumah. Sekelebat cahaya menyinari wajahnya dan
Vilius Sigismund muncul dengan raut wajah kerasnya.
“Ayo, kita tidak punya waktu.”
Damian hanya diam dan ia sudah tahu apa yang
harus dilakukan. Ia ber-transfer
menuju sebuah bangunan besar dan tinggi yang dijaga orang-orang berbadan besar.
Mereka berlutut dan menunduk ketika melihat Vilius, lalu pintu besar dibuka.
Damian berjalan di belakang kakeknya dan memandangi sekeliling ruangan yang
aneh dan penuh benda-benda serta aura sihir yang kuat. Ia dan kakeknya masuk ke
salah satu ruangan, kemudian disuruh berjalan sendiri menuju ruangan lain
dibalik pintu yang ada dihadapan mereka. Vilius harus pergi untuk mengurus
sesuatu yang mendadak. Damian hanya disuruh untuk ber-transfer ketika sudah berada di depan gedung itu persis ketika
mereka datang.
Damian masuk perlahan ke ruangan besar itu.
Disana berdiri beberapa remaja seusianya. Mereka semua memandang dingin ke arah
Damian. Seorang anak lelaki berambut coklat dan cukup tampan mendekatinya
dengan senyum diwajah.
“Hai, aku Mischa Duncan.”
“Hm, aku Damian.”
“Damian? Sepertinya aku pernah melihatmu.
Apakah kau pernah berada di salah satu tempat hiburan malam di Los Angeles?”
“Yah, aku pernah menjadi DJ disana. Hanya
semalam. Itu juga karena bantuan teman ayahku.”
“DJ Damian?”
Mischa tertawa senang menyadari bahwa Damian
adalah DJ muda yang dikaguminya ketika berada di tempat hiburan malam milik ayahnya.
“Aku dari Amerika. Sangat aneh ketika ada
pria paruh baya pirang berjubah hitam datang pada ayahku dan mengatakan bahwa
aku adalah penyihir. Kau tahu, ayahku tidak bisa mengedipkan matanya beberapa
lama, dan hampir mati kaku.”
“Yah, aku juga terkejut, tapi karena hanya
aku yang tidak tahu sementara seluruh keluargaku adalah penyihir dan mereka
menyembunyikannya. Well, pria paruh baya yang kau maksud adalah kepala sekolah
di Giuseppe School.”
“Kepala sekolah? Kukira ia seorang Pastor?!
Ia sangat ramah dan baik.” Mischa kembali tertawa.
“Hm, Mischa, kenapa orang-orang memandangiku
begitu?”
“Yah, kau tahu, aku mencari pakaian yang
paling sederhana agar tidak mencolok. Yang kudapat hanya kaus berlengan pendek
warna biru ini. Kau, ehm, datang dengan gaya yang lebih cocok di Hollywood
ketimbang di dunia sihir. Sangat modis, dan serba hitam.”
“Aku suka hitam.”
“Yah, hitam adalah warna para Penyihir Murni
dari Asrama Hitam. Kau telah mendeklarasikan bahwa dirimu adalah Penyihir Murni
dan pasti akan masuk ke Asrama Hitam.”
Seorang anak lelaki mungil berkacamata
tiba-tiba ada didekat mereka. Damian tidak terlalu suka dengan tatapan meneliti
milik anak ini.
“Ah, ini adalah Shawn Barclay. Aku bertemu
dengannya sepuluh menit yang lalu dan dia telah menceritakan segala sesuatu di
dunia sihir. Sebagian besar tidak kumengerti.” Mischa tersenyum tipis.
Seorang wanita paruh baya datang bersama Mr.
Hasselaer. Tiba-tiba ruangan besar itu berubah menjadi lapangan berumput hijau
yang sangat luas. Lapangan ini terbuka, Damian dapat merasakan angin sejuk yang
berhembus dan udara segar disana. Mereka semua disuruh untuk mengeluarkan
sihir. Pertama, tanpa perantara apapun. Jika tidak menghasilkan apapun, maka
disuruh membuat lingkaran pemanggil dan memanggil jin. Jika tidak bisa juga
maka akan disuruh menggunakan tongkat sihir. Mereka disuruh menghasilkan sihir
sebanyak yang mereka mampu. Satu persatu anak-anak itu memunculkan sihir
mereka. Sebagian besar dapat menggunakan lingkaran pemanggil, beberapa hanya
dapat mengeluarkan sihir dengan tongkat. Belum ada satupun yang berhasil
mengeluarkan sihir tanpa perantara. Si mungil Shawn hanya bisa menggunakan
tongkat sihir. Tersisa Damian dan Mischa. Setelah berkonsentrasi cukup lama,
Mischa dapat menghasilkan sihir tanpa perantara apapun. Ia bisa menghasilkan
beberapa sihir. Semua anak-anak itu kagum bercampur kesal. Mischa dinyatakan
sebagai Penyihir Murni dan masuk ke Asrama Hitam. Terakhir adalah Damian. Ia
telah berlatih sebelumnya dengan mengontrol kekuatannya. Damian dapat
mengeluarkan sihir yang banyak tanpa kelelahan. Bahkan Mr. Hasselaer juga
bingung.
“Sudah cukup. Damian, sudah cukup!” ucap Mr.
Hasselaer tenang.
“Dengan ini aku nyatakan Damian Sigismund
sebagai Penyihir Murni dan masuk ke Asrama Atradael.”
Atradael adalah nama sesungguhnya dari Asrama
Hitam. Setelah Mr. Hasselaer dan wanita tadi pergi, ruangan kembali pada
keadaan semula. Mischa merangkul pundak Damian dengan penuh semangat dan
tertawa. Hanya mereka berdua yang masuk ke Asrama Atradael.
“Sigismund? Kau seorang Sigismund??” tanya
seorang anak dengan wajah tidak percaya.
“Yah, aku adalah Damian Sigismund.” jawab
Damian bingung.
Anak-anak lain pergi sambil melihat Damian
dan menunjukkan ekspresi tidak percaya. Shawn mendekati Mischa dan Damian
sambil menghela napas.
“Damian, kau akan menghadapi saat-saat
terberat di Giuseppe. Kau harus bersabar.” Shawn memandangnya dengan kasihan
lalu pergi.
“Wow, kedengaran aneh.” gumam Mischa.
Damian dan Mischa berpisah didepan gedung.
Mr. Hasselaer akan mengantar Mischa ke rumahnya karena anak itu belum mahir
dalam transfer.
“Kau akan ber-transfer??” Mischa memandang ngeri pada Damian.
Mischa terlihat pucat dan memegang perut
serta mulutnya. Ia dan Mr. Hasselaer pergi sementara Damian juga kembali menuju
Dunia Pertama. Damian masih merasakan efek transfer.
Ia hampir memuntahkan sarapannya. Entah sampai kapan ia akan seperti ini, mual
setiap kali transfer. Damian berjalan
pelan menuju rumahnya yang hanya beberapa meter. Didepan rumah Vanessa
menunggunya sambil tersenyum tidak sabar. Ketika Damian datang ia segera
menggandeng lengan adiknya itu.
“Kau masuk ke Atradael?” tanya Vanessa.
“Yah, setelah melakukan tes aku dimasukkan ke
Asrama Atradael.”
Vanessa tertawa mendengarnya. Damian bingung
melihat perubahan sikap Vanessa. Ia tertawa geli dan itu tidak pernah dilihat
Damian dari Vanessa. Kakaknya itu selalu anggun, senang menggodanya, paling dia
hanya tertawa pelan.
“Kau benar-benar dikerjai! Sebenarnya tanpa
perlu di tes kau tetap akan masuk ke Asrama Atradael. Grandpa dan Mr. Hasselaer
benar-benar mengerjaimu. Semua penyihir tahu, hanya Penyihir Murni yang bisa transfer dan mengeluarkan sihir dari
anggota tubuhnya.” Vanessa masih tertawa.
Damian seharusnya sudah tahu ini. Kakeknya
benar-benar menyebalkan. Ia dapat membayangkan lelaki pucat itu sedang tertawa
terbahak-bahak karena berhasil mengerjai cucunya. Sebuah mobil SUV mewah
berwarna hitam masuk ke halaman rumah, dan berhenti didepan garasi. Dimitri dan
Sophia keluar sambil membawa bahan makanan yang banyak. Damian dan Vanessa
membantu mereka membawa barang belanjaan. Mereka akan memasak makan siang
terakhir dan makan malam terakhir sebelum Damian berangkat menuju Giuseppe
School besok. Sophia membantunya memasukkan baju-baju dan perlengkapan lainnya
kedalam koper. Damian memaksa untuk membawa peralatannya dalam membuat musik,
tapi niatnya itu diurungkan saat Dimitri berkata bahwa peralatan elektronik
dari Dunia Pertama yang tidak dilengkapi sihir saat pembuatannya tidak bisa
berfungsi di Dunia Kedua.
Damian melihat kelangit malam di Kota London.
Ia akan merindukannya. Sejak mereka pindah ke Amerika sepuluh tahun yang lalu,
baru kali ini ia dapat menikmatinya kembali. Ia tersenyum. Besok ia akan masuk
ke dunia yang menurut semua orang adalah di luar akal sehat. Yah, ia juga masih
belum yakin. Mungkin saja besok pagi ketika ia membuka mata, semuanya
menghilang seperti tidak pernah terjadi. Kalaupun itu nyata, maka ia tidak
terlalu sedih. Ia menemukan seorang anak lelaki berambut coklat yang pasti
sangat menarik untuk diajak mengungkap segala rahasia yang masih belum
terpecahkan di dunia sihir. Mereka akan membuat sejarah sihir baru. Ia tertawa
saat mengingat anak lelaki mungil berkacamata.
“Maaf, Shawn. Bukan maksudku untuk
melupakanmu.” Damian tertawa pelan dan pergi tidur.
*
* *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar