Dengan
tergesa-gesa Tiara turun dari tangga dan berlari keluar rumah, tidak
memperdulikan omelan Papi-nya yang sudah seperti nenek-nenek lincah. Sambil
menggerutu Tiara berlari menyusuri jalanan kompleks perumahan yang sudah sepi
karena sebentar lagi jam tujuh pagi dan para warga sekitar sudah pergi ke
kantor ataupun sekolah. Hanya Tiara yang masih berlari sambil mengangkat
sedikit rok panjang berlipitnya agar tidak tersandung dan jatuh. Ia sudah kebal
dengan omelan Papi yang menyuruhnya untuk bangun lebih awal atau apapun. Ia
kembali menggerutu karena walau seterlambat apapun Tiara, Papi tidak akan pernah mau
mengantarnya ke sekolah.
Tiara
mempercepat larinya ketika ia melihat pintu gerbang sekolah yang akan ditutup
satpam. Ia sampai tepat ketika pagar tertutup sempurna. Sambil memegang besi pagar, Tiara melotot ke arah satpam yang
masih berusia 20 tahun itu.
“Eh, Bang, bukain dong!
Kelas Bu Neneng, nih!!” dengan ketus Tiara memaksa satpam untuk melakukan apa
yang ia perintahkan.
Sambil
menggerutu, satpam bernama Bono ini terpaksa membuka pagar sekolah yang baru
saja ia tutup. Bono baru bekerja di sekolah ini kurang lebih 6 bulan yang lalu.
Walau begitu ia sudah paham betul seperti apa Tiara, siswi kelas XII yang
bandelnya minta ampun. Seluruh siswa kelas XII tidak ada yang mau berurusan
dengan gadis ini, setidaknya begitulah yang Bono dengar selama ia bekerja.
Tiara
tersenyum penuh
kemenangan, tapi ia belum bisa lega karena tepat di depannya adalah tempat guru
piket nangkring. Sambil merapikan rambutnya dan menurunkan rok yang sedari tadi
ia angkat hingga batas lutut, Tiara berjalan sopan melintasi meja guru piket.
“Permisi, Bu.” dengan
senyuman polosnya, Tiara lewat di depan Bu Eti sang guru BK.
“Kamu hampir terlambat
loh, Tiara…” tegur Bu Eti lembut tanpa mengalihkan pandangannya dari buku piket
di atas meja.
“Kan ‘hampir’, Bu.”
Tiara hanya nyengir dan berlari pelan di koridor yang merupakan wilayah ruang
guru, ruang Kepsek, UKS, TU, dan ruang Waka.
Sejak
masuk ke sekolah ini, Tiara selalu menyatakan ketidaksukaannya mengenai deretan
ruangan ‘berbahaya’ itu di koridor utama. Semua siswa kelas XII harus melewati
koridor ini jika ingin ke kelas atau mereka bisa memutari seluruh sisi sekolah dari tempat parkir hanya
untuk sampai di kelas mereka. Begitu berada di ujung koridor utama, Tiara
langsung berbelok ke kanan dan menyusuri koridor kelas XII. Ia melintasi toilet
yang mana masih ada beberapa siswa di dalamnya, ia juga melintasi kelas XII IPA
2 yang para siswanya sudah duduk manis di kelas walaupun guru belum datang.
Tiara mencibir, ia tidak pernah suka dengan kelas ini karena mereka semua
bertingkah sok teladan dan seolah semuanya siswa paling pintar di sekolah. Ia
sampai di kelas selanjutnya, kelas XII IPA 1.
Begitu Tiara membuka pintu kelas yang tertutup itu, sesuatu melesat
cepat ke arahnya. Gadis ini menghindar secepat kilat dan tetap menjaga ekspresi
santainya. Fajar dan Fathan bediri di depan sambil memegang bet tenis meja
sementara dua buah meja diletakkan di antara mereka berdua. Tiara tersenyum
sinis melihat bola badminton yang
sekarang sudah terendam di saluran air depan kelas.
“Aduh, Tiy, kok nggak
lo tangkep sih tadi?! Bola baru tuh!!!” keluh Fajar.
Tanpa menggubris berbagai omelan pelan
kedua lelaki ini, Tiara langsung berjalan santai ke tempat duduknya yang berada
di baris paling depan. Setelah meletakkan tasnya dan duduk, Tiara mengedarkan
pandangan ke seluruh kelas.
“Ci, Diva mana?” Tiara
mencolek pelan bahu Cici yang sedang bergurau dengan beberapa siswi lain.
“Oh, si Tante ke
kantin, beli teh botol.” jawab Cici dengan gaya lebay sekaligus gokil.
“Haikal mana?” tanya
Tiara lagi.
“Kalo si Om tadi
merayap ke lantai atas, menggoda para gadis muda jablay.” Cici lalu kembali
fokus pada obrolan sebelumnya dengan siswi lain.
Tak
lama setelah itu Diva datang dengan membawa sebotol teh dingin. Ia berhenti di
pintu kelas, bersandar di sana dan berpose sensual seperti model di majalah.
“Wahai anak-anak
kesayangan Tante, di kantin Kak Decha ada menu baru. Batagor spesial.” kata
Diva centil lengkap dengan desahan ala penyanyi dangdut koplo.
Mendengar
menu yang disebutkan Diva, para siswa menelan ludah. Kantin kak Decha yang
masakannya enak-enak, membuat mereka kembali lapar. Diva langsung berjalan
masuk dan duduk di sebelah Tiara. Ia meletakkan teh botol yang baru dibeli tepat di
atas meja Tiara.
“Nih, gue tau lo abis
lari marathon dari rumah ke sekolah. Cepet minum, karena bentar lagi lo bakal
dehidrasi. Pelajaran Bu Neneng, neeehh.”
Tiara
hanya meneguk teh
dingin di depannya dan
menyimpan botol kosong di pojok belakang kelas, tempat puluhan botol kosong
lain tersimpan secara rahasia. Di sekolah ini dilarang menjual mi instan, atau
apapun yang menggunakan bahan pengawet dan limbah plastik. Jadi minuman yang
boleh dijual adalah yang dalam botol kaca, ataupun dalam gelas kaca yang
artinya hanya bisa diminum di kantin.
“Eh, Haikal belum balik?” Diva mengedarkan pandangan
ke seluruh ruang kelas.
“Belom. Ih, ganjen banget sih tu perjaka!! Bentar, gue
telpon.”
Tiara mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya dan
memencet panggilan cepat 2, nomor HP Haikal. Sebentar terdengar nada sambung
yang masih sama membosankannya seperti biasa. Tuuuttt…. tuuuttttt…..
“Kampret!! Si Haikal masih nyodorin gue burung
perkutut.” Tiara kembali mencoba menelepon Haikal.
“Hallo, Nyet??? Ada apa lo
nelpon gue?”
“Eh, udah berapa perawan yang lo mangsa?!” Tiara membuat
panggilan kali ini dengan loud speaker
agar seluruh siswa dapat mendengarnya.
Sebagian besar siswa menghentikan aktivitas mereka
hanya untuk mendengar obrolan rutin setiap pagi ini. Beberapa tetap sibuk
dengan urusan masing-masing sambil sesekali mencuri dengar.
“Please deh.... hiperbola
deh lo!! Lo pikir gue penjahat kelamin?! Tenang aja, anak-anak lugu ini nggak
gue grepe-grepe kok… palingan gue colek dikit aja, biar nggak penasaran.”
Mereka semua terkikik pelan, menahan ledakan tawa.
Kali ini Diva ingin berbicara.
“Kal, udah balik aja ke sini! Bentar lagi Mami masuk
nih…. Jangan sampe lo di gampar pake tas lagi sama beliau. Lo kan tau, walau
tampilan tas tangannya mewah dan cantik, isinya kayak barbel….” Diva tersenyum
geli.
“Iya deh, Diy. Bentar lagi,
gue kiss bye dulu sama mereka. Eh, jangan lupa monyet ganas di sebelah lo kasi
amunisi dulu. Ntar dia bisa cakar-cakaran sama Mami.”
“Tenang, udah gue gelonggongin sama teh dingin.”
“Si monyet mana mempan sama
begituan. Ganti, ganti!! Atau perlu gue mampir ke Lab Kimia, nyolong spiritus
seliter buat tu monyet?”
“Eh, nge-bacot lagi gue gampar lo, ya?!!” Tiara
menggeram setelah merampas ponsel dari Diva.
Tiara langsung mematikan sambungan telepon dan
memasukkan ponselnya ke saku seragam. Satu menit kemudian sesosok pria bertubuh
tinggi dengan seragam ketat di tubuh, menampakkan diri. Ia menyisir rambut
hitam pendeknya dengan jari-jari tangan kiri, mengedipkan sebelah mata pada
Diva dan Tiara, lalu duduk di salah satu bangku di baris tengah. Tepat setelah
Haikal duduk, seorang guru bertubuh mungil dan cantik di usianya yang sudah
40-an, masuk dengan berjalan cepat sambil menenteng tas tangan ber-merk.
“Nomor satu…!!!”
Ucapan lantangnya yang tiba-tiba membuat semua siswa
mengeluarkan kertas dan alat tulis dengan tergopoh-gopoh, mengelap keringat
dingin, bersiap menerima kuis Kimia dadakan super sulit.
Setelah melewati pelajaran ala neraka dan sedikit
penyegaran dengan pelajaran pengetahuan lingkungan, para siswa langsung
bergegas ke kantin tepat ketika bel dibunyikan. Tiara, Diva, dan Haikal
berjalan beriringan menyusuri koridor kelas XII untuk menuju kantin yang
terletak berjejer di bagian paling belakang sekolah. Mereka berjalan lurus
menuju kantin Kak Decha. Sebenarnya mereka ingin makan di kantin Teteh, tapi
tempat itu sudah dikuasai oleh sebagian anak-anak kelas X dan mayoritas anak
kelas XI. Jejeran kantin sebelah kiri memang secara tak tertulis menjadi daerah
kekuasaan para siswa kelas XII, jadi lebih nyaman bersantai di kantin Kak Decha
yang termasuk kategori kantin sayap kiri. Ke-alay-an anak kelas X dan XI yang stadium 4 itu membuat iritasi mata
para senior, termasuk mereka bertiga.
“Jadi, kenapa lo marahan lagi sama Om Raihan?” Diva
meneguk sedikit es teh manisnya, menanyakan konflik antara Tiara dan Papi-nya.
“Papi kencan sama cewek baru lagi. Mana tu orang masih
umur 27, lagi!! Gak beda jauh sama Abang gue!!!” Tiara mengunyah es batu,
membuat Haikal dan beberapa orang yang mendengarnya menjadi ngilu.
“Wow… lo bakal punya mami baru…” Diva mendecakkan
lidah.
“Please,
deh, ah…. Mami gue itu cuma satu!!! Beliau masih hidup…. Enak aja digantiin
sama cewek-cewek gak jelas gitu! Lagian Papi gue kegatelan juga sih.... liat
cewek cantik dikit aja langsung diajak nikah!!!” gerutu Tiara pelan sambil
mengaduk-aduk mie tiaw rebusnya.
Diva hanya menggaruk pelan kepalanya yang tidak gatal.
Kalau masalah keluarga Tiara, ia hanya bisa geleng-geleng kepala. Sejak umur
Tiara 12 tahun, orangtuanya bercerai. Walau begitu sampai sekarang kedua
orangtuanya akur-akur saja dan akrab seperti sahabat. Sejak orangtua mereka
bercerai, Bang Tyo, anak pertama keluarga aneh itu masuk Akademi Kepolisian.
Sekarang dia sudah menjadi Polisi dan sedang bertugas di NTT. Tiara, hingga
sekarang secara bergiliran setiap minggunya, menginap di rumah Papi atau
Mami-nya.
“Kalo cakep, gebetan Papi lo buat gue aja. Tenang aja,
gue juga doyan sama yang lebih tua kok!” Haikal tersenyum nakal sambil
menyendok bakso hangat miliknya.
“Ih, geblek
deh lo, Kal! Pokoknya ya, lo berdua bantuin gue buat menggagalkan usaha Papi
yang kebelet pengen nikah. Kenapa nggak balikan sama Mami aja lagi, sih?!!
Hubungan mereka juga baik-baik aja kok, nggak berubah.” Tiara menggigit roti
bakar dengan ganas.
Mereka lalu kembali ke kelas setelah makan. Ketiganya
duduk di kursi taman yang ada di depan setiap kelas, bersantai dilindungi pohon
rindang dari sengatan panas cahaya matahari. Mereka sesekali memperhatikan
siswa kelas X yang berani melintasi koridor kelas XII untuk menuju kantin.
Memang, bagi anak-anak baru, koridor ini lebih aman dibandingkan koridor sebelah kanan sekolah, sarang siswa kelas XI.
Karena para ABG labil itu baru aja ngerasain jadi senior dan senang sekali
mengerjai para siswa kelas X yang berani lewat di koridor sana, para korban
malang ini terpaksa melewati koridor kelas XII yang lebih aman walaupun tetap
tak jauh angkernya dibanding koridor kelas XI. Malang benar anak-anak baru ini,
mereka ditempatkan di lantai atas, jauh dari kantin, jauh dari lapangan
sekolah, jauh dari toilet, jauh dari peradaban anak SMA sesungguhnya.
Semua orang dapat melihat gerombolan siswi kelas X
culun yang takut melewati salah satu koridor sehingga mereka melintasi lapangan
basket dan futsal yang luas di bawah terik panas matahari. Terdengar sorakan
dari bagian kanan sekolah alias area siswa kelas XI. Mereka mempermalukan
siswi-siswi kelas X itu, sehingga mereka berlari cepat menuju kantin dengan
wajah merah dan tak sedikit yang ketakutan sekaligus hendak menangis.
“WOI!! NORAK LO!!! DASAR KAMPUNGAN!!!! ANAK UDIK YA,
LO SEMUA?!” teriak Tiara nyaring penuh emosi.
“ORANG UTAN LO SEMUA!!!”
“MANUSIA PURBA!! OTAK LO KEMANA?!!”
“BOCAH-BOCAH SARAPPPPP!!!!”
“BBBOOOOOOOOOOO!!!!!!”
Terdengar sahut-sahutan sorakan balasan dari koridor
kelas XII untuk para junior alay
mereka, siswa kelas XI. Sekejap seluruh siswa kelas XI terdiam. Mereka takut
sekaligus malu. Bagi senior teratas, alias kelas XII, tidak ada yang boleh
mengerjai junior selain mereka. Jika ingin bertindak sesukanya di sekolah ini,
mereka harus menjadi siswa kelas XII dulu. Para guru bahkan sudah tidak perduli
dengan tingkah para calon alumni ini, mereka sebentar lagi lulus jadi semuanya
tidak masalah asal bukan tindak kriminal yang memalukan. Dari lantai atas
maupun seluruh sisi sekolah yang ada siswa kelas X, para anak baru ini
tersenyum senang. Merasa bangga dibela oleh senior yang merupakan rantai
makanan teratas. Jika sudah begini, siswa kelas XI tidak akan berani beraksi
secara terang-terangan lagi.
“Duh, seret
nih… teriak mulu dari tadi.” Haikal memegang lehernya dengan ekspresi kesal.
Pandangan Tiara tiba-tiba terfokus pada seseorang yang
baru keluar dari toilet. Tanpa sadar Tiara sudah menggigit jarinya dan menatap
siswa bertubuh kurus tinggi dan berkulit putih itu.
“Anak siapa tuh?” suara Tiara tercekat.
“Anak orang lah… masa iya anak Syaiton….” Diva
mengikuti arah pandang Tiara.
“Ih, tampan….” bisik Tiara manja seperti tante-tante
girang doyan berondong.
“Nafsu, lo?! Tetangga gue tuh!!” Haikal mengeluarkan
ponsel, mulai mengirimi pesan berisi rayuan gombal pada seluruh gadis-gadis
cantik yang disukainya.
“Ciyus?? Kenalin dong….” Tiara mulai bertingkah manja,
berbeda 1800 dari karakter aslinya.
“Ih, ngeri gue ngeliat elo!! Macan betina sekaligus
monyet rabies kayak lo, nggak pantes bertingkah sok imut!” Haikal menyipitkan
matanya.
Diva menampar pelan bagian belakang kepala Haikal. “Udah
deh, Kal! Ntar Tiara ngamuk, gue nggak ikut campur ya?!”
“Iya deh, iya… ntar weekend lo berdua maen ke rumah gue deh. Kalo lo sendiri, bahaya
Nyet. Ntar kita di grebek sama Pak RT, dikira berbuat mesum. Tapi, masa lo
nggak pernah ngeliat dia sih? Dia sesepuh lama kaleee, sama kayak kita. Emang
iya sih, pendiam gitu. Nggak terdeteksi.” jelas Haikal.
“Ah, bodo’ amat!! Nama, nama…??? Siapa namanya?” Tiara
mulai tidak sabar.
“Wildan. Anak kelas XII IPS 3.” balas Haikal lagi.
“Hm, tapi nggak apa-apa nih, Tiy? Dia nggak lebih
ganteng dari Bang Tyo ataupun cowok gue. Untungnya dia setingkat lebih oke dari
perjaka sombong di sebelah kita ini.” Diva memperhatikan Wildan dari kejauhan.
“Lancang mulut lo, ya?!! Gue ini jelas berada di Top Rank cowok populer. Lebih di atas lo
yang cuma sekedar salah satu cewek menarik di sekolah ini. Dasar perawan
norak!!” Haikal melotot.
“Diem lo berdua!! Bikin polusi suara aja. Dia itu
imut. Pokoknya sekarang tujuan gue nambah, gue harus jadian sama si Willy.” Tiara terlihat serius.
“Namanya Wildan, Nyet!! Lo mau berurusan sama emak-bapaknya
gara-gara ganti nama dia sembarangan?” Haikal mengibas-ngibaskan tangannya ke
arah leher, mengusir rasa panas.
“Terserah deh. Kita mulai secepatnya. Mulai besok, lo
harus setor info tentang dia ke gue! Urusan Papi belakangan aja. Kalo dia udah
siapin undangan nikah buat si Tante ganjen, baru gue beraksi. Lo, Diy, harus
nyiapin segala keperluan gue selama kita beroperasi.” Tiara memberi komando
pada kedua teman akrabnya ini.
Diva dan Haikal hanya mengangguk malas. Dalam hati mereka
memang senang karena akhirnya Tiara punya niat untuk pacaran juga setelah
menjomblo sejak lahir hingga sekarang ini. Tapi mereka juga sedikit kasihan
pada Andre, cowok pintar sekaligus pemalu yang menyukai Tiara sejak SMP. Sayang
sekali cowok itu menyatakan perasaannya pada Tiara yang masih seperti perempuan
batu. Seandainya Andre mendekati Tiara lagi sekarang, dimana sudah sedikit
menjadi perempuan sejati, pasti Andre akan mempunyai sedikit peluang.
Bel masuk berbunyi, membuat semua siswa yang masih
berkeliaran di luar kelas segera masuk dan duduk manis di bangku masing-masing.
Sisa hari itu begitu membosankan bagi sebagian besar orang termasuk Tiara,
tidak ada yang berkesan sama sekali. Tidak ada hal-hal menggemparkan seperti
biasanya yang rutin terjadi beberapa kali dalam seminggu. Seperti perkelahian
antar siswa, konser tiba-tiba di lapangan basket demi mengusir rasa bosan,
ataupun tingkah konyol para siswa. Hari ini semua orang bertindak seolah mereka
adalah anak teladan. Jadi begitu bel tanda pulang sekolah berbunyi, Tiara
langsung menarik lengan Diva dan menyeret gadis itu hingga tempat parkiran
bahkan sebelum Bu Halimah yang mengajar Bahasa Inggris keluar dari kelas.
“Aduh…… sakit nih, Tiy!!!” rengek Diva.
“Anterin gue balik dong, Diy?! Perasaan gue bilang ada
sesuatu di rumah.” Tiara memasang wajah khawatir.
“Ya kalo lo terburu-buru kan lo bisa balik sendiri.
Lari marathon kayak biasanya.” keluh Diva sambil membetulkan tali tas ranselnya
yang membelit tak karuan di pundak karena serangan mendadak Tiara tadi.
“Rumah gue emang cuma 500 meter dari gerbang sekolah,
tapi ini panas gila kaleee…. Pontianak gitu loh, lo jemur ikan asin di tepi
jalan juga langsung jadi dalam sekejap. Males gue jalan kaki!” Tiara mengelap
keringat yang keluar di sekitar lehernya dengan punggung tangan.
“Dasar lintah! Ada maunya aja lo mepet ke gue!” sambil
menggerutu pelan, Diva mengeluarkan motor matic-nya
dari parkiran dengan susah payah.
Tiara berdiri tidak tenang di gerbang sekolah ketika
Diva datang sambil menaiki sepeda motornya. “Yuk ah, ngebut Diy!” Tiara menaiki
boncengan dan menepuk pelan bahu Diva.
Lima menit kemudian mereka sampai di kompleks
perumahan Sepakat Damai dan sampai di depan rumah Tiara. Walau disuruh
mengebut, Diva tidak akan berani. Ia adalah warga negara yang baik, taat dengan
semua peraturan negara termasuk masalah lalu lintas. Ia tetap tak menambah
kecepatannya dari 20 km/jam walau Tiara mengomel dan memaksanya ngebut. Omelan
Tiara terhenti ketika mereka melihat sebuah mobil Terios putih milik Papi
Tiara. Tidak mungkin Papi-nya pulang secepat ini kecuali Bank Kalbar tempat
beliau bekerja sudah ludes terbakar ataupun bangkrut. Dengan mata menyelidik
dan ekspresi ala detektif di film-film, mereka berdua memasuki halaman rumah
yang pagarnya tidak terkunci. Diva entah kenapa ikut penasaran dan
mengendap-endap mengekori Tiara. Terdengar suara Mbok Jannah, pembantu rumah
ini yang berbicara dengan seseorang. Setelah didengar dengan seksama, ternyata
suara seorang perempuan. Suara yang tidak pernah didengar oleh Tiara. Mata
mereka menangkap sosok bertubuh tinggi dan ramping dengan pakaian kerja resmi,
sedang berbincang di pintu masuk bersama Mbok Jannah. Tiara menyipitkan mata
ketika melihat rambut kecoklatan yang disanggul rapi, lalu menggeram ketika
ternyata wanita itu mengenakan seragam Bank Kalbar, mengumpat pelan ternyata
saat wanita itu berbalik terlihat wajah yang lumayan cantik sekaligus sombong.
“Eh, Mbak Tiara udah pulang. Mbak Diva mau saya buatin
sirup dingin?” Mbok Jannah tersenyum ramah pada kedua gadis SMA ini.
“Nggak deh, Mbok. Bentar lagi saya pulang.” tolak Diva
halus lalu kembali melihat ke arah tamu asing itu.
“Ini Tiara anak Pak Raihan, ya?” sapa wanita muda itu
sok ramah.
“Papi mana, Mbok?” tanya Tiara ketus sambil menatap
tajam wanita di depannya.
“Pak Raihan masih di kantor, saya di suruh untuk
mengambil dokumen ke sini dan membawa mobil beliau.” yang menjawab bukan Mbok
Jannah, tapi orang lain yang tak diharapkan.
“Saya kan nanya ke Mbok Jannah. Emang Tante siapa?”
sindir Tiara.
Mendengar ucapan kecut dari Tiara, wanita muda itu
hanya terkekeh pelan. “Saya Nina, Customer
Service di Bank Kalbar Pusat, kantor yang sama dengan Pak Raihan. Saya
permisi dulu, harus kembali ke kantor secepatnya.” Wanita bernama Nina itu
tersenyum tipis dan berjalan menuju mobil Terios putih Papi Tiara.
Dengan tidak melepaskan pandangan mata dari Nina,
Tiara dan Diva mendekati Mbok Jannah. “Siapa tuh, Mbok? Pacar Papi, ya?!” suara
Tiara masih dapat terdengar oleh Nina ketika wanita muda itu masuk ke dalam
mobil dan mulai pergi.
“Sepertinya begitu, Mbak. Oh iya, mau makan apa? Ada
udang goreng, gudeg, opor ayam, banyaklah pokoknya.” Mbok Jannah menjelaskan.
“Apa aja deh. Diy, lo makan siang di sini ya?!” Tiara
melepaskan sepatu sekolahnya.
“Makasih nih, Tiy. Tapi gue harus pulang. Mama masak
rawon spesial.” Diva tersenyum senang.
“Gak asik lo, Diy! Yaudah, see you tomorrow. Makasih
loh, ya, udah jadi ojek buat gue. Ternyata memang ada musibah yang bentar lagi
melanda rumah tangga ini. Gue mau istirahat dulu, isi amunisi buat Perang Dunia
Ke-3 ntar sore. Papi nyari gara-gara nih!”
“Oke deh. Gue balik ya, Tiy. Bye!”
Diva memakai kembali helm-nya dan pulang ke rumah.
Tiara segera masuk ke dalam rumah, berganti pakaian, makan siang, tidur siang,
menyiapkan tenaga untuk berperang dengan Papi-nya. Sore hari, sekitar pukul
setengah lima, sebuah Terios putih memasuki halaman rumah Tiara. Gadis itu
hanya duduk santai di depan televisi, sambil mengunyah keripik tempe. Bahkan
ketika Papi-nya melepaskan sepatu dan masuk ke rumah, Tiara masih duduk bersila
di atas karpet berwarna biru muda di ruang tengah sambil memandang layar
televisi yang menampilkan salah satu MV boyband
Korea.
“Baru pulang kerja, Pi?” mata Tiara tetap melihat
acara di TV.
“Nggak. Baru pulang dugem.” jawab Papi cuek sambil
menyimpan sepatu di tempat yang sudah disediakan.
“Dugem sama Tante Nina?” tanya Tiara kecut.
Gerakan Papi tertahan, ia melihat ke arah anaknya itu
dan menunjukkan ekspresi wajah santai. “Bukan. Sama Cinta Laura!” Papi berjalan
menuju dapur dan membuka kulkas lalu meminum air putih dingin, tidak
memperdulikan Mbok Jannah yang menyodorkan kopi panas.
“Oh, ya? Enak dong main sama anak muda?? Itu Cinta
Laura mau dinikahin juga? Aku bakal dapet Mami tiri yang umurnya nggak jauh
dari Bang Tyo, dong?” tanya Tiara nyaring dari ruang tengah.
“Ih, tumben kamu cerdas? Habis minum susu SGM, ya?”
balas Papi nyaring dari dapur.
“Nggak, kok. Tapi habis nenggak larutan MSG dari Mbok
Jannah.”
“Wah, nanggung banget Mbok Jannah ngasi kamu MSG?!
coba aja sekalian kamu dicekokin B-29 sama Boraks.”
“Papi nggak perlu khawatir. Tadi aku udah nyicip lem
Fox, kok.”
“Yang kuning apa yang putih?”
“Yang putih, dong. Biar lebih dahsyat!!”
“Hm, pantesan kamu mabok.”
“Tapi aku nggak semabok Papi yang nyuruh orang asing
bawa mobil Papi dan mampir ke rumah ini, disaat aku pulang ke rumah pula!!”
Tiba-tiba Tiara menampakkan diri di pintu dapur, melotot
tajam. Ia sangat murka pada Papi yang sudah mengganggu kenyamanannya. Papi
menatap anaknya tenang, tidak ada ucapan ngawur seperti biasanya.
“Papi belum pasti nikahin Kak Nina, kok.” ucap Papi
lembut.
“Iya. Tapi TANTE itu nganggep Papi serius. Udah
ngomong apa aja Papi sama dia? Kok dia kenal aku?” Tiara masih melotot.
“Bukan cuma Nina, tapi satu kantor tau tentang kamu
kali, Ra. Kamu itu kan preman pasar yang ngetop. Setiap kali Papi izin, mereka
pasti tau kalo Papi ke sekolah kamu dipanggil guru atau Kepsek. Memangnya kamu
nggak nyatet berapa rekor kamu selama beberapa tahun terakhir ini?”
Ucapan Papi lebih seperti sindiran daripada pengertian
yang biasanya diberikan oleh para orangtua untuk menenangkan anaknya yang tidak
mau orangtua mereka menikah lagi. Tiara juga tahu diri seperti apa reputasinya
sehingga disebut-sebut sebagai biang kerok.
“Bodo’!! pokoknya kalo tu Tante masih mampir ke sini,
aku bakal ke rumah Mami selamanya! Nggak bakalan ke sini lagi!!!”
Tiara segera menghilang menaiki tangga menuju kamarnya
di lantai atas sementara Papi berlari pelan, berusaha mengejar anaknya. Ia
berharap anak perempuan satu-satunya itu tidak serius untuk meninggalkannya.
Papi menghela nafas dengan berat ketika terdengar bantingan pintu kamar Tiara.
Papi berbalik hendak kembali menuju dapur ketika pintu kamar Tiara terbuka
lagi. Ia melongo mengawasi apa yang akan terjadi. Apakah Tiara akan melempar
semua bantal lucunya, ataukah semua koleksi CD game dan DVD filmnya? Papi berharap bukan yang kedua, karena sudut
lancip dari kotak CD begitu menyakitkan jika tertancap tepat di salah satu
bagian tubuh. Tiara muncul masih dengan wajah masamnya, berjalan gaduh menuruni
tangga, menuju ruang tengah, mengambil setoples keripik tempe, dan akhirnya
berjalan kembali masuk ke kamar dengan emosi yang belum reda juga.
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar