Ku langkahkan kakiku dengan
cepat naik ke lantai atas gedung sekolah, menuju perpustakaan begitu bel
istirahat kedua berbunyi bahkan sebelum guru Biologi keluar dari kelas. Kurang
ajar memang. Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan hasratku pada buku-buku yang
minta segera dibaca itu. Setelah mengisi buku tamu dan beramah-tamah
alakadarnya dengan bu Heni yang menjaga perpustakaan, kutelusuri rak-rak penuh
buku itu sambil tersenyum. Kumpulan 25 naskah terbaik yang dibuat oleh para
guru Indonesia membuatku senang untuk yang kesekian puluh kalinya, setiap
edisinya. Cerita yang berat dan berkualitas adalah kesukaanku.
“Jamal D. Rahman…” uluran tangan berisi buku terulur
padaku.
Aku hanya tersenyum tipis
dan mengambil buku yang disodorkan, sementara orang itu menulusuri rak lain.
Kegiatan rutinku lainnya adalah memperhatikan orang itu sembunyi-sembunyi
sambil sesekali tersenyum senang. “Aku senang ada anak muda jaman sekarang yang
suka puisi dan naskah ketimbang ngerumpi nggak jelas.” tanpa melepaskan
pandangannya dari buku-buku itu, ia berbicara pelan padaku dengan ekspresi
datarnya yang biasa.
“Karena itu sangat romantis, rumit, walau maknanya
sederhana.” aku menjawab pelan masih tersenyum malu-malu.
“Nice. Kamu
bisa pengaruhin otak anak-anak lainnya dengan cara biasa.” kali ini ia
melihatku tanpa mengubah air mukanya, lalu beranjak pergi sambil membawa
beberapa buku untuk dipinjam.
Lima menit kemudian aku
menyusul untuk meminjam buku. Kecintaanku pada buku adalah mutlak, berkunjung
ke perpustakaan setiap hari adalah rutinitasku, bertemu dengan gadis itu adalah
bonus. Sedikit berlebihan memang, tapi aku seperti merasa mendengar lagu-lagu
bertempo lambat menjadi backsound
jika aku melihatnya. Aneh, tapi aku merasa sangat senang bukan kepalang. Aku
bahkan sempat melupakan perasaan membosankan tinggal di kota ini sejak dulu,
seperti berada di tempat asing yang walau sederhana tapi membuatku melupakan
segala hal selain dia.
Setelah pulang sekolah,
segera ku tarik lengan Viona menjauh dari anak lainnya. Sambil menunjukkan
wajah cemberut, ia berdiri sambil melipat lengan di depan dada. “Gak sabaran
banget sih, lo! Kalo tau gini gue tolak mentah-mentah permintaan wawancara lo.
Untung aja gue masih inget kalo lo itu temen sekelas gue.” nada ketus dalam suaranya
memang berdampak padaku yang akhirnya merasa bersalah. Tapi aku perlu
menyelesaikan sesi wawancara untuk mading secepatnya, karena aku harus ke ruang
perpustakaan yang setiap Sabtu rutin disulap menjadi ruangan klub mading
sekolah. Setelah menerima permintaan maafku yang tulus, Viona bersedia ku
wawancarai di kelas yang mulai sepi. Aku harus mendapatkan info resmi
keikutsertaan dari anggota Cheerleader
dalam kejuaraan Justicia yang akan diadakan bulan depan. Karena para senior di
klub mading mengetahui betapa banyaknya anggota Cheers di kelasku, alhasil tugas itu dilimpahkan padaku.
Setelah setengah jam yang
melelahkan mendengar ocehan Viona yang sangat cepat dan penuh semangat, aku
bisa tersenyum lagi. Sambil mengucapkan terima kasih padanya, aku berlari cepat
menuju perpustakaan walau samar kudengar teriakan penuh kekesalan dari temanku
itu. Nafasku masih terengah-engah begitu sampai di depan pintu perpustakaan.
Sensasi yang sama seperti yang biasa kurasakan saat melihat Reina, gadis yang
selalu kuperhatikan hampir setiap waktu. Ia duduk bersandar di dinding sambil
meluruskan kakinya di bawah salah satu meja kayu bundar berukuran sedang di
ruangan ini. Ia melirikku sebentar lalu kembali fokus pada buku yang dipegangnya,
sementara anggota klub lain sibuk berdebat kecil tentang artikel untuk mading,
serta karikatur apa yang harus dibuat. Aku mengambil posisi duduk di sampingnya
setelah menyerahkan hasil wawancaraku dengan Viona kepada senior lain yang
masih saja berdebat itu.
Tidak akan ada yang berani
protes jika aku tak ikut mengatur artikel di mading karena aku adalah anggota
paling aktif dan berdedikasi tinggi di sini. Tentu saja termasuk Reina,
satu-satunya senior kelas XII yang masih betah di klub yang menurut sebagian
besar orang membosankan ini. Aku junior tak tahu malu? Mungkin itu yang selalu
dipikirkan orang lain, karena hampir setiap hari aku mengekori Reina kemanapun.
Bahkan gadis itu tak pernah komplain. “Apa judul naskah kesukaan kamu?” tanya
gadis itu disela-sela kegiatan membaca bukunya yang tampak serius.
“LANTRA.” aku menjawab dengan mantap sambil memandangi
anggota klub lainnya yang masih berdebat hiasan apa yang akan dibuat untuk
menutupi rubrik yang kosong.
“Langka.” hanya itu yang ia ucapkan walau akhirnya ia
kembali memandangku dengan ekspresi datar yang sama.
“Memang. Aku suka tentang betapa besar cintanya Lantra
kepada Lana. Sangat sederhana, tulus, dan menyedihkan.”
Hingga selanjutnya aku tidak
mendengar suara Reina, tapi aku tahu kalau ia sempat tersenyum tadi. Aku
akhirnya membantu para senior menempel artikel di mading sebelum perdebatan
berubah menjadi pertengkaran. Sabtu sore beberapa ekskul masih melakukan
latihan harian. Aku juga melihat Viona yang sibuk bersalto di lapangan basket bersama
beberapa teman Cheers-nya. Aku
membetulkan tali tasku ketika aku melihat Reina yang duduk di tepi koridor,
memandangi berbagai aktifitas di lapangan sekolah. Tanpa sadar aku sudah
berjalan dan duduk di sampingnya. Selama sepuluh menit kami hanya berdiam diri,
sibuk dengan pikiran masing-masing sementara mata tak lepas memandangi siswa
lain yang sedang latihan. “Apa judul novel roman kesukaan kamu?” nada suara dan
ekspresi datar yang sama dari Reina.
“CLIMATES.” jawabku masih dengan suara yang mantap.
“Terlalu berat.” ia tertawa pelan dan dengan anggun.
“Iya. Aku suka dengan rasa cinta Phillipe kepada Odile,
ketulusannya, kesetiaannya, gambarannya tentang Odile.”
“Kamu selalu suka dengan karakter pria lemah yang
mencintai wanita lebih dari hidupnya sendiri?”
“Iya. Menjadi lemah sesekali bukan masalah, ketika
pria sudah menemukan seseorang yang pantas dicintai sepenuh hati.”
Kali ini aku tak melepaskan
pandanganku pada Reina, bahkan berkedip pun tidak. Gadis itu juga balas
menatapku, kali ini tersenyum tipis. Pandangannya kembali tertuju ke arah
lapangan.
“Tapi pihak yang lebih mencintai itu adalah yang
paling tersakiti.” wajahnya tiba-tiba menjadi mendung bersamaan dengan langit
sore ini.
“Juga yang paling bahagia.” aku masih tidak bisa
melepaskan pandanganku darinya.
Rintik-rintik hujan mulai
turun, membuat kami mundur dari posisi sekarang dan merapat ke dinding agar
tidak terkena tempiasan air hujan. Para anggota tim Volly dan Futsal berlari mencari tempat berteduh, sedangkan anggota
tim Cheers berlari kecil sambil
menjerit berlebihan karena takut basah. Gerimis berubah menjadi hujan deras,
dan aku masih bersama Reina dalam diam.
“Apa sekarang kamu masih bahagia?” Reina memandangku
dengan wajah sendu yang tak pernah kulihat.
“Ya. Selalu, sejak pertama kita bertemu.” aku juga
ikut memandangnya serius.
“Sampai kapan?” ia bertanya lagi sambil melihat
tetesan air hujan.
“Masih belum tahu. Lihat aja nanti. Masih belum punya
rencana berpindah ke lain hati.”
Hujan berhenti sepuluh menit
kemudian dan awan mendung secara perlahan mulai berkurang, menampakkan kembali
matahari senja yang mengintip diantara awan-awan. Sosok lelaki yang sangat ku
kenal mendekat ke arah kami lengkap dengan senyuman ramahnya. Reina langsung
tersenyum cerah kepada Fajar. “Makasih, ya, udah jagain pacarku. Anak Teater
lagi keras kepala semua hari ini, pada ngotot maksain tema mereka masing-masing
untuk pentas bulan depan. Lain kali aku traktir, Ga.”
Masih sambil melontarkan
senyuman ramahnya ia mengajak Reina pulang sambil menggandeng tangan gadis itu,
dan Reina pun tampak sangat senang. Perlahan senyumanku hilang dan berganti
tatapan sendu pada gadis yang kusukai itu. Viona menepuk bahuku dan memberi
isyarat untuk mengobrol sementara anggota Cheers
yang pria membuang genangan air dari lapangan dengan menggunakan sapu lidi dan
berbagai alat aneh lainnya.
“Cari pacar itu susah.” tanpa sadar aku menghela nafas
dengan berat.
“Kalo targetnya se-level kak Reina, jelas lah. Cewek
cantik gitu mana mau seriusan sama brondong gak jelas kayak lo. Lagian lo juga,
nembak kak Reina di depan anak sekelas waktu MOS.” ucapan Viona sedikit
membuatku tersinggung. Tapi ku urungkan niat untuk marah padanya, karena gadis
ini memang bermulut tajam dan jujur tanpa maksud lain. “Lo itu imut, Ga, dan
sayangnya cowok imut selalu menjadi alternatif ke-sekian untuk dijadikan pacar.
Lebih enak untuk dijadiin temen atau buat jadi adek angkat kegedean.”
Setelah puas menyindirku
dengan santai, Viona bergabung bersama teman-temannya untuk melanjutkan latihan
mereka yang tertunda. Aku hanya menghela nafas dengan berat untuk yang
ke-sekian kalinya sebelum akhirnya berjalan pelan mengambil sepedaku dari
tempat parkir dan pulang ke rumah.
Aku sangat membenci
perpisahan. Walau begitu aku hadir di hotel ini sebagai anggota OSIS sekaligus
panitia acara perpisahan kelas XII di bulan Mei ini. Acara sudah selesai
setengah jam yang lalu, tapi tak satu pun seniorku yang pulang. Mereka berfoto
ria untuk mengabadikan kenangan sekali seumur hidup dengan teman-teman mereka.
Berdiri di antara para senior calon alumni ini, aku membantu mereka yang ingin
difoto. Sejak tadi aku sulit melepaskan pandangan dari seorang gadis yang
mengenakan mini dress batik yang
anggun, serta stileto mahal miliknya.
Aku mengarahkan kameraku dan mulai mengambil gambar dirinya yang sangat cantik
dengan make-up dan tatanan rambut
yang sejak tadi membuat jantungku berdebar tak karuan. Ia spontan melihat ke
arahku saat merasakan blitz yang
terus-terusan mengarah kepadanya di antara ratusan blitz teman-temannya yang lain. Ia berjalan mendekatiku sambil
tersenyum.
“Foto, yuk!” ia dengan cepat menggandeng lenganku dan
menyuruh salah satu temannya untuk mengambil gambar kami berdua. Tubuh dan
wajahnya sangat dekat. Bahkan aroma stroberi yang lembut seperti biasa darinya
dapat kucium.
Setelah beberapa jepretan
foto, aku berterima kasih pada senior itu yang telah bersedia menjadi fotografer
dadakan, sementara Reina berdiri di hadapanku.
“Semoga kita ketemu lagi setelah ini entah di manapun.
Sampai nanti, Agatha.”
Itulah senyuman terakhir
yang ku dapat darinya serta nada suara yang begitu lembut terdengar di gendang
telingaku, sebelum ia berbalik dan berjalan pergi bersama Fajar serta beberapa
siswa senior lain untuk melanjutkan acara perpisahan tak resmi mereka di salah
satu café. Aku tak pernah bertemu dengannya lagi sejak saat itu. Hingga tahun
ajaran baru dan aku naik ke kelas XI, aku masih mengingat jelas penampilannya,
senyumannya, dan suaranya hari itu. Aku sedang memilih-milih buku untuk dibaca
sambil menunggu anggota klub mading yang anehnya tak satu batang hidung pun
muncul hingga sekarang.
“Ga, gue mau liatin sesuatu ke elo.” Derry, salah satu
anggota klub mading yang satu angkatan denganku datang mendekat. Ia menyerahkan
kamera digitalnya dan aku melihat satu persatu gambar di sana. “Gue udah lama
pengen nunjukin itu ke elo, tapi gue belum berani. Ntar lo ngira gue paparazzi, lagi.” lanjutnya lagi dengan
hati-hati.
Aku tak menghiraukan ucapan
Derry karena aku sibuk melihat foto-foto, yang secara mengejutkan seperti
diambil oleh seorang pro, aku yang
secara diam-diam mencuri pandang ke arah Reina. Gambar-gambar selanjutnya
adalah ketika Reina yang tersenyum tipis ketika aku berjalan menjauh yang dapat
kupastikan setelah aku mengekorinya seharian di sekolah. Lalu gambar terakhir
yang membuatku menahan nafas. Aku yang tertidur sambil bersandar di dinding
perpustakaan, sepertinya tak sadar kepalaku sudah rebah di bahu Reina sementara
gadis itu tersenyum sambil memandangiku dengan sorot mata yang mengingatkanku
alasan untuk menyatakan cinta padanya saat MOS. Derry sepertinya mengambil
gambar dari sela-sela deretan rak-rak buku di perpustakaan ini, dan anggota
klub mading lain yang berkumpul sambil berbincang serius. Air mataku menetes di
layar kamera milik Derry. Anak itu perlahan keluar dari perpustakaan tanpa
mengeluarkan suara, meninggalkan aku sendiri di sini. Aku berbaring di atas
karpet dan menutup wajah dengan buku pelajaran Biologiku, sementara air mataku
berjatuhan dalam diam.
* * *
Aku sedang mengantri untuk
mengambil pesanan burger-ku ketika ku
dengar beberapa gadis yang mengantri di depanku berbincang. Kepalaku sedang
pusing karena skripsi, jadi hari ini ku tegaskan pada diriku untuk bersantai
dulu sebelum ber-stress ria kembali.
“Ih, gue sodorin cowok yang ini lo tolak, yang satu
lagi lo tolak juga. Mau sampe kapan lo jomblo? Sampe peyot?” salah seorang
gadis mendengus kesal.
“Lagian yang lo sodorin jenisnya sama semua dengan
mantan dia. Jelaslah temen kita ini nolak.” gadis yang lainnya memandang sebal
pada gadis sebelumnya.
“Emang tipe lo kayak gimana sih? Biar jadi referensi.
Bosen gue ngeliat lo 3 tahun ini jadi jomblo.” tanya gadis pertama.
“Hm, mungkin cowok yang imut. Melankolis. Suka dengan
hal-hal yang romantis sekaligus menyedihkan.” suara gadis ini membuat kepalaku
tersentak dan aku terdiam.
“Ih, apaan tuh? Cowok cengeng? Nggak banget deh!”
komentar dua gadis lainnya.
Mereka mengambil pesanan
yang sudah jadi lalu berbalik untuk menuju tempat duduk. Ia di sini. Gadisku
yang tampak lebih dewasa dan bertambah cantik serta anggun. Ketertarikan padaku
ditunjukkan dua gadis lainnya, sementara gadis yang ada di depanku ini tampak
sedikit terkejut lalu sedetik kemudian menatapku penuh kerinduan, sama
sepertiku.
“Kita ketemu lagi, Agatha.” sapanya dengan suara yang
sangat kurindukan.
“Ya. Kali ini boleh kan aku nyatain cintaku lagi tanpa
memandang kamu seniorku, Reina?”
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar