EFEK TULISAN BERPUTAR

Kamis, 27 Oktober 2016

SAMPAI NANTI



Ku langkahkan kakiku dengan cepat naik ke lantai atas gedung sekolah, menuju perpustakaan begitu bel istirahat kedua berbunyi bahkan sebelum guru Biologi keluar dari kelas. Kurang ajar memang. Tapi tidak ada yang bisa mengalahkan hasratku pada buku-buku yang minta segera dibaca itu. Setelah mengisi buku tamu dan beramah-tamah alakadarnya dengan bu Heni yang menjaga perpustakaan, kutelusuri rak-rak penuh buku itu sambil tersenyum. Kumpulan 25 naskah terbaik yang dibuat oleh para guru Indonesia membuatku senang untuk yang kesekian puluh kalinya, setiap edisinya. Cerita yang berat dan berkualitas adalah kesukaanku.
“Jamal D. Rahman…” uluran tangan berisi buku terulur padaku.
Aku hanya tersenyum tipis dan mengambil buku yang disodorkan, sementara orang itu menulusuri rak lain. Kegiatan rutinku lainnya adalah memperhatikan orang itu sembunyi-sembunyi sambil sesekali tersenyum senang. “Aku senang ada anak muda jaman sekarang yang suka puisi dan naskah ketimbang ngerumpi nggak jelas.” tanpa melepaskan pandangannya dari buku-buku itu, ia berbicara pelan padaku dengan ekspresi datarnya yang biasa.
“Karena itu sangat romantis, rumit, walau maknanya sederhana.” aku menjawab pelan masih tersenyum malu-malu.
Nice. Kamu bisa pengaruhin otak anak-anak lainnya dengan cara biasa.” kali ini ia melihatku tanpa mengubah air mukanya, lalu beranjak pergi sambil membawa beberapa buku untuk dipinjam.
Lima menit kemudian aku menyusul untuk meminjam buku. Kecintaanku pada buku adalah mutlak, berkunjung ke perpustakaan setiap hari adalah rutinitasku, bertemu dengan gadis itu adalah bonus. Sedikit berlebihan memang, tapi aku seperti merasa mendengar lagu-lagu bertempo lambat menjadi backsound jika aku melihatnya. Aneh, tapi aku merasa sangat senang bukan kepalang. Aku bahkan sempat melupakan perasaan membosankan tinggal di kota ini sejak dulu, seperti berada di tempat asing yang walau sederhana tapi membuatku melupakan segala hal selain dia.
Setelah pulang sekolah, segera ku tarik lengan Viona menjauh dari anak lainnya. Sambil menunjukkan wajah cemberut, ia berdiri sambil melipat lengan di depan dada. “Gak sabaran banget sih, lo! Kalo tau gini gue tolak mentah-mentah permintaan wawancara lo. Untung aja gue masih inget kalo lo itu temen sekelas gue.” nada ketus dalam suaranya memang berdampak padaku yang akhirnya merasa bersalah. Tapi aku perlu menyelesaikan sesi wawancara untuk mading secepatnya, karena aku harus ke ruang perpustakaan yang setiap Sabtu rutin disulap menjadi ruangan klub mading sekolah. Setelah menerima permintaan maafku yang tulus, Viona bersedia ku wawancarai di kelas yang mulai sepi. Aku harus mendapatkan info resmi keikutsertaan dari anggota Cheerleader dalam kejuaraan Justicia yang akan diadakan bulan depan. Karena para senior di klub mading mengetahui betapa banyaknya anggota Cheers di kelasku, alhasil tugas itu dilimpahkan padaku.
Setelah setengah jam yang melelahkan mendengar ocehan Viona yang sangat cepat dan penuh semangat, aku bisa tersenyum lagi. Sambil mengucapkan terima kasih padanya, aku berlari cepat menuju perpustakaan walau samar kudengar teriakan penuh kekesalan dari temanku itu. Nafasku masih terengah-engah begitu sampai di depan pintu perpustakaan. Sensasi yang sama seperti yang biasa kurasakan saat melihat Reina, gadis yang selalu kuperhatikan hampir setiap waktu. Ia duduk bersandar di dinding sambil meluruskan kakinya di bawah salah satu meja kayu bundar berukuran sedang di ruangan ini. Ia melirikku sebentar lalu kembali fokus pada buku yang dipegangnya, sementara anggota klub lain sibuk berdebat kecil tentang artikel untuk mading, serta karikatur apa yang harus dibuat. Aku mengambil posisi duduk di sampingnya setelah menyerahkan hasil wawancaraku dengan Viona kepada senior lain yang masih saja berdebat itu.
Tidak akan ada yang berani protes jika aku tak ikut mengatur artikel di mading karena aku adalah anggota paling aktif dan berdedikasi tinggi di sini. Tentu saja termasuk Reina, satu-satunya senior kelas XII yang masih betah di klub yang menurut sebagian besar orang membosankan ini. Aku junior tak tahu malu? Mungkin itu yang selalu dipikirkan orang lain, karena hampir setiap hari aku mengekori Reina kemanapun. Bahkan gadis itu tak pernah komplain. “Apa judul naskah kesukaan kamu?” tanya gadis itu disela-sela kegiatan membaca bukunya yang tampak serius.
“LANTRA.” aku menjawab dengan mantap sambil memandangi anggota klub lainnya yang masih berdebat hiasan apa yang akan dibuat untuk menutupi rubrik yang kosong.
“Langka.” hanya itu yang ia ucapkan walau akhirnya ia kembali memandangku dengan ekspresi datar yang sama.
“Memang. Aku suka tentang betapa besar cintanya Lantra kepada Lana. Sangat sederhana, tulus, dan menyedihkan.”
Hingga selanjutnya aku tidak mendengar suara Reina, tapi aku tahu kalau ia sempat tersenyum tadi. Aku akhirnya membantu para senior menempel artikel di mading sebelum perdebatan berubah menjadi pertengkaran. Sabtu sore beberapa ekskul masih melakukan latihan harian. Aku juga melihat Viona yang sibuk bersalto di lapangan basket bersama beberapa teman Cheers-nya. Aku membetulkan tali tasku ketika aku melihat Reina yang duduk di tepi koridor, memandangi berbagai aktifitas di lapangan sekolah. Tanpa sadar aku sudah berjalan dan duduk di sampingnya. Selama sepuluh menit kami hanya berdiam diri, sibuk dengan pikiran masing-masing sementara mata tak lepas memandangi siswa lain yang sedang latihan. “Apa judul novel roman kesukaan kamu?” nada suara dan ekspresi datar yang sama dari Reina.
“CLIMATES.” jawabku masih dengan suara yang mantap.
“Terlalu berat.” ia tertawa pelan dan dengan anggun.
“Iya. Aku suka dengan rasa cinta Phillipe kepada Odile, ketulusannya, kesetiaannya, gambarannya tentang Odile.”
“Kamu selalu suka dengan karakter pria lemah yang mencintai wanita lebih dari hidupnya sendiri?”
“Iya. Menjadi lemah sesekali bukan masalah, ketika pria sudah menemukan seseorang yang pantas dicintai sepenuh hati.”
Kali ini aku tak melepaskan pandanganku pada Reina, bahkan berkedip pun tidak. Gadis itu juga balas menatapku, kali ini tersenyum tipis. Pandangannya kembali tertuju ke arah lapangan.
“Tapi pihak yang lebih mencintai itu adalah yang paling tersakiti.” wajahnya tiba-tiba menjadi mendung bersamaan dengan langit sore ini.
“Juga yang paling bahagia.” aku masih tidak bisa melepaskan pandanganku darinya.
Rintik-rintik hujan mulai turun, membuat kami mundur dari posisi sekarang dan merapat ke dinding agar tidak terkena tempiasan air hujan. Para anggota tim Volly dan Futsal berlari mencari tempat berteduh, sedangkan anggota tim Cheers berlari kecil sambil menjerit berlebihan karena takut basah. Gerimis berubah menjadi hujan deras, dan aku masih bersama Reina dalam diam.
“Apa sekarang kamu masih bahagia?” Reina memandangku dengan wajah sendu yang tak pernah kulihat.
“Ya. Selalu, sejak pertama kita bertemu.” aku juga ikut memandangnya serius.
“Sampai kapan?” ia bertanya lagi sambil melihat tetesan air hujan.
“Masih belum tahu. Lihat aja nanti. Masih belum punya rencana berpindah ke lain hati.”
Hujan berhenti sepuluh menit kemudian dan awan mendung secara perlahan mulai berkurang, menampakkan kembali matahari senja yang mengintip diantara awan-awan. Sosok lelaki yang sangat ku kenal mendekat ke arah kami lengkap dengan senyuman ramahnya. Reina langsung tersenyum cerah kepada Fajar. “Makasih, ya, udah jagain pacarku. Anak Teater lagi keras kepala semua hari ini, pada ngotot maksain tema mereka masing-masing untuk pentas bulan depan. Lain kali aku traktir, Ga.”
Masih sambil melontarkan senyuman ramahnya ia mengajak Reina pulang sambil menggandeng tangan gadis itu, dan Reina pun tampak sangat senang. Perlahan senyumanku hilang dan berganti tatapan sendu pada gadis yang kusukai itu. Viona menepuk bahuku dan memberi isyarat untuk mengobrol sementara anggota Cheers yang pria membuang genangan air dari lapangan dengan menggunakan sapu lidi dan berbagai alat aneh lainnya.
“Cari pacar itu susah.” tanpa sadar aku menghela nafas dengan berat.
“Kalo targetnya se-level kak Reina, jelas lah. Cewek cantik gitu mana mau seriusan sama brondong gak jelas kayak lo. Lagian lo juga, nembak kak Reina di depan anak sekelas waktu MOS.” ucapan Viona sedikit membuatku tersinggung. Tapi ku urungkan niat untuk marah padanya, karena gadis ini memang bermulut tajam dan jujur tanpa maksud lain. “Lo itu imut, Ga, dan sayangnya cowok imut selalu menjadi alternatif ke-sekian untuk dijadikan pacar. Lebih enak untuk dijadiin temen atau buat jadi adek angkat kegedean.”
Setelah puas menyindirku dengan santai, Viona bergabung bersama teman-temannya untuk melanjutkan latihan mereka yang tertunda. Aku hanya menghela nafas dengan berat untuk yang ke-sekian kalinya sebelum akhirnya berjalan pelan mengambil sepedaku dari tempat parkir dan pulang ke rumah.
Aku sangat membenci perpisahan. Walau begitu aku hadir di hotel ini sebagai anggota OSIS sekaligus panitia acara perpisahan kelas XII di bulan Mei ini. Acara sudah selesai setengah jam yang lalu, tapi tak satu pun seniorku yang pulang. Mereka berfoto ria untuk mengabadikan kenangan sekali seumur hidup dengan teman-teman mereka. Berdiri di antara para senior calon alumni ini, aku membantu mereka yang ingin difoto. Sejak tadi aku sulit melepaskan pandangan dari seorang gadis yang mengenakan mini dress batik yang anggun, serta stileto mahal  miliknya. Aku mengarahkan kameraku dan mulai mengambil gambar dirinya yang sangat cantik dengan make-up dan tatanan rambut yang sejak tadi membuat jantungku berdebar tak karuan. Ia spontan melihat ke arahku saat merasakan blitz yang terus-terusan mengarah kepadanya di antara ratusan blitz teman-temannya yang lain. Ia berjalan mendekatiku sambil tersenyum.
“Foto, yuk!” ia dengan cepat menggandeng lenganku dan menyuruh salah satu temannya untuk mengambil gambar kami berdua. Tubuh dan wajahnya sangat dekat. Bahkan aroma stroberi yang lembut seperti biasa darinya dapat kucium.
Setelah beberapa jepretan foto, aku berterima kasih pada senior itu yang telah bersedia menjadi fotografer dadakan, sementara Reina berdiri di hadapanku.
“Semoga kita ketemu lagi setelah ini entah di manapun. Sampai nanti, Agatha.”
Itulah senyuman terakhir yang ku dapat darinya serta nada suara yang begitu lembut terdengar di gendang telingaku, sebelum ia berbalik dan berjalan pergi bersama Fajar serta beberapa siswa senior lain untuk melanjutkan acara perpisahan tak resmi mereka di salah satu café. Aku tak pernah bertemu dengannya lagi sejak saat itu. Hingga tahun ajaran baru dan aku naik ke kelas XI, aku masih mengingat jelas penampilannya, senyumannya, dan suaranya hari itu. Aku sedang memilih-milih buku untuk dibaca sambil menunggu anggota klub mading yang anehnya tak satu batang hidung pun muncul hingga sekarang.
“Ga, gue mau liatin sesuatu ke elo.” Derry, salah satu anggota klub mading yang satu angkatan denganku datang mendekat. Ia menyerahkan kamera digitalnya dan aku melihat satu persatu gambar di sana. “Gue udah lama pengen nunjukin itu ke elo, tapi gue belum berani. Ntar lo ngira gue paparazzi, lagi.” lanjutnya lagi dengan hati-hati.
Aku tak menghiraukan ucapan Derry karena aku sibuk melihat foto-foto, yang secara mengejutkan seperti diambil oleh seorang pro, aku yang secara diam-diam mencuri pandang ke arah Reina. Gambar-gambar selanjutnya adalah ketika Reina yang tersenyum tipis ketika aku berjalan menjauh yang dapat kupastikan setelah aku mengekorinya seharian di sekolah. Lalu gambar terakhir yang membuatku menahan nafas. Aku yang tertidur sambil bersandar di dinding perpustakaan, sepertinya tak sadar kepalaku sudah rebah di bahu Reina sementara gadis itu tersenyum sambil memandangiku dengan sorot mata yang mengingatkanku alasan untuk menyatakan cinta padanya saat MOS. Derry sepertinya mengambil gambar dari sela-sela deretan rak-rak buku di perpustakaan ini, dan anggota klub mading lain yang berkumpul sambil berbincang serius. Air mataku menetes di layar kamera milik Derry. Anak itu perlahan keluar dari perpustakaan tanpa mengeluarkan suara, meninggalkan aku sendiri di sini. Aku berbaring di atas karpet dan menutup wajah dengan buku pelajaran Biologiku, sementara air mataku berjatuhan dalam diam.
*                      *                      *
Aku sedang mengantri untuk mengambil pesanan burger-ku ketika ku dengar beberapa gadis yang mengantri di depanku berbincang. Kepalaku sedang pusing karena skripsi, jadi hari ini ku tegaskan pada diriku untuk bersantai dulu sebelum ber-stress ria kembali.
“Ih, gue sodorin cowok yang ini lo tolak, yang satu lagi lo tolak juga. Mau sampe kapan lo jomblo? Sampe peyot?” salah seorang gadis mendengus kesal.
“Lagian yang lo sodorin jenisnya sama semua dengan mantan dia. Jelaslah temen kita ini nolak.” gadis yang lainnya memandang sebal pada gadis sebelumnya.
“Emang tipe lo kayak gimana sih? Biar jadi referensi. Bosen gue ngeliat lo 3 tahun ini jadi jomblo.” tanya gadis pertama.
“Hm, mungkin cowok yang imut. Melankolis. Suka dengan hal-hal yang romantis sekaligus menyedihkan.” suara gadis ini membuat kepalaku tersentak dan aku terdiam.
“Ih, apaan tuh? Cowok cengeng? Nggak banget deh!” komentar dua gadis lainnya.
Mereka mengambil pesanan yang sudah jadi lalu berbalik untuk menuju tempat duduk. Ia di sini. Gadisku yang tampak lebih dewasa dan bertambah cantik serta anggun. Ketertarikan padaku ditunjukkan dua gadis lainnya, sementara gadis yang ada di depanku ini tampak sedikit terkejut lalu sedetik kemudian menatapku penuh kerinduan, sama sepertiku.
“Kita ketemu lagi, Agatha.” sapanya dengan suara yang sangat kurindukan.
“Ya. Kali ini boleh kan aku nyatain cintaku lagi tanpa memandang kamu seniorku, Reina?”
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

D
N
A
L
Y
S
A
T
N
A
F
S
I
S
I
H
T